Desember 21, 2015

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH TANTANGAN INTERNAL (KETERPURUKAN) UMAT DAN TANTANGAN EKSTERNAL (MODERNITAS DAN GLOBALISASI)



Pendidikan merupakan bagian dari perjalanan hidup umat manusia yang ingin maju. Pendidikan adalah salah satu aspek dalam Islam dan menempati kedudukan yang sentral, karena peranannya dalam membentuk pribadi muslim yang utuh sebagai pembawa misi kekholifahan. Allah telah membekali manusia dengan akal ( kemampuan rasio ) dan al – Qur’an memberi dukungan yang kuat bagi usaha manusia untuk meningkatkan standard kehidupan.

Secara umum memang tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas pendidikan kita masih sangat rendah. Ini nampak sekali pada komponen pendidikan yang ada baik itu pendidik, sarana dan prasarana, kurikulum, dan dana yang kurang memenuhi standar. Pendidik kita misalnya, banyak yang belum berkualifikasi sebagai pendidik yang profesional karena secara akademis mereka belum memiliki kualifikasi untuk menjadi seorang pendidik ( guru ). Sarana dan prasarana ynag ada masih jauh dari layak. Kurikulum pendidikan pendidikan kita masig terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Kemudia adanya  tantangan ekonomi, politik, juga menjadi hal yang dihadapi dunia pendidikan Islam.
Sementara dari luar sistem pendidikan yang ada, arus globalisasi dan informasi juga turut memberi pengaruh pada cara pandang masyarakat terhadap pendidikan, terutama pendidikan agama. Sehingga fenomena yang muncul adalah menomorduakan pendidikan agama.
Ciri berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk globalisasi diantaranya :Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ). Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM. Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Begitu kompleks gambaran permasalahan dalam pendidikan kita, karena selain tantangan internal pendidikan kita juga dihadapkan pada tantangan eksternal sebagai imbas dari globalisasi.
Pendidikan Islam yang identik dengan lembaga pendidikan bernama madrasah memang masih mendapat predikat sekolah “ kelas dua “ dari sebagian masyarakat kita yang notabene mayoritas muslim. Untuk mengubah atau bahkan menghilangkan sama sekali image negatif itu banyak hal yang harus dibenahi, di antaranya adalah perubahan orientasi. Orientasi pendidikan Islam selama ini adalah untuk memahami ilmu agama an sih, seperti yang ditulis pada artikel ini. Kondisi ini membuat pendidikan kita terisolasi dengan sendirinya. Paradigma ini harus diperbaharui, karena al – Qur’an menuntun kita untuk menuntut ilmu seluas – luasnya. Ilmu agama dan ilmu duniawi haruslah konvergen.




















TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam rangka merumuskan suatu tujuan pendidikan islam perlu adanya kajian terhadap hakekat manusia, masyarakat, alam, pengetahuan, dan fungsi nilai. Hakekat manusia dikaji karena merupakan subjek yang akan didik adalah manusia, hakekat masyarakat dikaji karena peserta didik hidup di tengah masyarakat yang kompleks, dari kajian ini didapat posisi dan fungsi sekolah dan impian masyarakat, hakekat alam dikaji karena peserta didik hidup didalamnya serta untuk diketahui posisi peserta didik di dalamnya dan tugas yang harus dilaksanakannya, hakekat pengetahuan dan fungsi nilai dikaji karena dengan keduanya peserta didik dapat mengaktualisasi dirinya dan menjadi acuan bagi pendidik dalam proses kegiatan pembelajaran.
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Hakekat manusia apabila dilihat dari prespektif eksistensi terdiri dari tiga hal:(1) amal dan karyanya dimuka bumi, seorang manusia akan dikenal orang lain atau masyarakat yang ada disekitarnya dengan amal dan karyanya di muka bumi, selain itu amal manusia menjadi tolak ukur baik atau buruknya yang menjadi pembeda dengan makhluk lainnya sebagaiman firman Allah yang artinya : “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya. Dan dia Maha Perkasa, Maha Pengampun”.( Q.S al Mulk (67):2 ). (2) Merupakan wujud dari penjelmaan kepribadiannya, Allah telah mengilhamkan kebaikan dan keburukan kepada jiwa manusia, apabila seseorang selalu beribadah kepada Allah maka akan terlihat perilaku baik yang merupakan kepribadiannya, dan apabila seseorang tidak mengerjakan ibadah maka terlihat perilaku buruk yang merupakan kepribadiannya[1]. (3) Sebagai hamba Allah di muka bumi, sebagimana firman Allah bahwasannya:”Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk mengabdi kepadanya”mengabdi dalam bentuk ibadah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya seperti tercantum dalam Al-qur’an dan sebagai khalifah di muka bumi, Manusia juga sebagai khalifah di bumi  merupakan amanat Allah yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.
Manusia memiliki unsur pembentuk dari tanah yang disebut dalam al Qur`an dengan lafal basyar dan ruh Allah yang disebut dalam al Qur`an dengan lafal insan. Lafal basyar  digunakan al Qur`an dalam menjelaskan dimensi lahiriah manusia sebagai contoh bahwa manusia itu membutukan makan dan minum, sebagaiman firman Allah yang artinya : “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan apa yang kamu makan, dan dia minum apa yang kamu minum”.[2] Sedangkan lafal insan digunakan dalam al Qur`an dalam menjelaskan dimensi psikis dan spiritual sebagai contoh bahwa manusia memiliki kemampuan berbicara, berkomunikasi, dan berbahasa. Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya :” (Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan al Qur`an, Dia menciptakan manusia, mengajarkan pandai berbicara”.[3] Dua kata basyar dan insan menunjukkan substansi manusia bahwa substansi insan lebih mulia dari pada basyar, oleh karena itu dalam pandangan Islam orang yang paling baik adalah taqwanya kepada Allah bukan dilihat dari segi duniawi.
Allah juga memberikan kepada manusia 2 potensi diantaranya potensi psikis: nafs, qalb, ruh dan aql, dan potensi fisik sebagai makhluk yang berfikir diberi ilmu dan memikul amanah. Nafs merupakan tempat pengetahuan dan kemauan yang keras serta dengannya pula manusia menyesali perbuatannya, qalb merupakant tempat ras takut, keimanan, pengajaran dan merupakan sarana untuk memperoleh pengetahuan, ruh dianugerahkan kepada seluruh manusia dan menjadikan manusia makhluk yang berbeda dengan lainnya, hal yang menjadikan manusia seperti ini adalah aql, dengannya manusia dapat membentuk suatu budaya dan peradaban. Aql memiliki daya nalar yang dapat memahami sesuatu dan menyimpulkan, daya moral yang dapat menjauhi keburukan, dan daya rusyd  yang dapat mengambil hikmah.
Masyarakat merupakan suatu kumpulan individu yang saling berhubungan sehingga memiliki kesadaran dan cita –cita kolektif dan membentuk peradaban, ciri masyarakat dalam Islam diantaranya: (1) Moral sebagai basis utama, (2) keluarga sebagai kelompok inti, (3) Harmoni dengan alam semesta. Suatu masyarakat akan mengalami kebangkitan yang disebabkkan perkembangan pengetahuan, dan kemunduran yang disebabkan kedzaliman dan kemewahaan yang diunggulkan manusia.
Allah menciptakan alam bagi manusia memiliki tujuan untuk kepentingan manusia itu sendiri dengan demikian mereka harus melestarikan alam yang dapat menjadikannya eksis di muka bumi. Untuk melakukan tugasnya dimuka bumi maka manusia harus mendaya gunakan potensi yang dimiliki dengan mempelajari pengetahuan baik secara inderawi atau metafisika.
Ada 3 isitilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal).[4] Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّÙ‰), yurabbi (ÙŠُرَبِّÙ‰) menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam. Kata ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. Kata al-ta`dib, menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, sebagaimana suatu hadis yang artinya: “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. al-Askary dari Ali r.a). Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya. Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya. Pendidikan Islam merupakan integrasi dari 3 kata diatas yang mengimplisitkan bahwa adanya inter relasi antara manusia, masyarakat, dan lingkungannya dan antara ketiganya dengan Allah, bentuk penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara formal dan non formal , dengan demikian pendidikan merupakan tanggung jawab individu, masyarakat dan negara.
Pendidikan merupakan proses yang membantu pertumbuhan dan perkembagan kepribadian manusia secara komprehensif melalui pelatihan segenap daya dan potensinya, sehingga nilai – nilai islam dapat dimiliki oleh seorang manusia, dan dapat terbentuk suatu kebudayaan islam yang dapat melaksanakan tugas manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.
Tujuan pendidikan islam adalah menjadi manusia sempurna (insan kamil) yang mampu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi, menjaga alam semesta dengan selalu mengkaji pengetahuan yang ada, dan selalu mencerminkan nilai – nilai islam sehingga tercipta suatu masyarakat islam yang memiliki budaya islami.
A.    Konsep Pendidikan Prespektif Ibnu Sina
1.      Hakekat Manusia
Bebicara tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia. Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian halnya Ibn Sina, juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia. Bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibn Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa.
Secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya mesti dipelihara dalam kelangusungan hidup di dunia ini. Namun dalam kajian filsafat, unsur rohani atau jiwa mendapat perhatian lebih karena dianggap sebagai hakikat manusia yang sesungguhnya. Demikian halnya dengan Ibn Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji tentang organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik tentang jiwa.
Ibnu Sina membagi Jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Hanya saja Ibn Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an.  Dalam makalah ini dirinci tentang Jiwa manusia (insaniyah), yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua daya, yaitu: (1) Daya praktis {al-'amilat), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-'amilah disebut juga al-'aqlul 'amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia, dari seluruh binatang. Jika daya ini membimbing daya-daya jiwa hayawaniyah serta dipengaruhi juga oleh aqlun nazhari (pikir teoritis) maka manusia akan hidup di atas keutarnaan, tetapi jika sebaliknya manusia akan hidup dalam kehinaan. (2) Daya teoretis {al-'alimat) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'alimah disebut juga "aqlun nazhari". (akal intelegensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum yang di-tajrid-kan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan akal, yaitu.(a) Aqlun bil quwwab, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman-pengalaman. Aqlun bil quwwah ini dibagi tiga:  Al-Aqlu al-hayulani (akal material), yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.  Al-'Aqlu al-malakat, yaitu jiwa yang memperoleh perkara-perkara badihiyah (kebenaran aksioma) dengan ilharn ilahi tanpa melalui proses belajar, dia tidak pula lewat pengalaman indrawi. Contoh, keseluruhan lebih besar dari bagiannya, dua yang berlawanan tidak akan berkumpul. Al-Aqlu bi al-fi'l, (akal aktual), yaitu bilamana jiwa memperoleh ilmu pengetahuan teoritis, namun dia tidak dalam keadaan sedang empelajarinya, tapi ilmu sudah siap padanya, kapan saja dia kehendaki dapat diketahuinya. (b) al-Aqlu al-Mustafad, yaitu akal yang muncul bilamana konsepsi rasional hadir pada akal itu, sedang dia dalam keadaan mengkajinya atau mempelajarinya. Perbedaan antara al-aql bi al-fi'li dengan al-aql al-mustafad adalah, umpamanya, seorang seniman pelukis, daya jiwanya pada waktu dia tidak dalam keadaan melukis, dan daya jiwanya pada waktu dia tenggelam dalam melukis (mustafad). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
Dari tingkatan jiwa di atas, jiwa al-insaniyah adalah yang tertinggi. Sementara dalam jiwa al-insaniyah juga terdapat beberapa tingkatan akal, dari yang bersifat materil (hayulani) hingga kepada yang abstrak (mustafad). Untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia.
Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya, jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang maka orang itu akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya di akhirat.
2.      Hakekat Pendidikan Islam
Hakekat pendidikan menurut Ibnu Sina adalah aktualisasi dan penyempurnaan potensi akal manusia baik akal teoritis dengan pendidikan nalar, serta akal teoritis  dan praktis dengan pendidikan akhlak
3.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah menguatkan iman, membina kesehatan dan akhlak, berfikir benar, dan ketrampilan
4.      Strategi penerapan untuk mencapai tujuan pendidikan
a.       Pendidikan dilaksanakan secara moderasi dengan memperhatikan perkembangan usia dan jiwa serta nilai ajaran islam
b.      Kurikulum berupa materi pelajaran yang ditawarkan Ibn Sina dimulai sejak usia dini (3 – 5 tahun), lalu usia pertengahan (6 – 14 tahun), dan usia di atas 14 tahun. Masing-masing tingkatan usia tersebut memerlukan materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan/psikologis anak. Di usia dini lebih menekankan aspek apektif/akhlak, di usia remaja telah memperkanalkan berbagai ilmu-ilmu dasar, sementara di usia dewasa harus di arahkan kepada keahlian atau spesifikasi keilmuan sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum tersebut sudah bersifat hirarkis-sturuktural.
c.       Metode pembelajaran yang harus mempertimbangkan aspek psikologis anak dan jenis materi pelajaran yang diberikan. Dalam penyajian metode ini, seorang guru harus memperhatikan pembinaan akhlak, baik akhlak guru sendiri sebagai teladan maupun perilaku anak didik yang harus diarahkan kepada yang baik. Oleh karena itu seorang guru selain dituntut untuk cerdas dan kompeten dalam bidangnya, juga dituntut memiliki akhlak yang mulia penuh kharisma sehingga menjadi teladan dan idola bagi anak didiknya.
5.      Relevansi strateginya dalam menghadapi tantagan internal dan eksternal
a.       Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak hanya trasmisi pengetahuan tetapi memberikan pengalaman hidup individual dan sosial, agar dapat mengatasi tantangan internal
b.      Dalam proses pendidikan seorang pendidik perlu menjauhkan siswa dari rasa takut, marah dan sedih. Seorang pendidik harus bisa memberikan kesenangan kepada siswa dengan demikian siswa terbiasa berfikir positif
c.       Dalam proses pendidikan pendidik harus mengajarkan kepada siswa kerjasama dengan teman lainnya dan saling menguatkan nilai-nilai, agar dalam hidup siswa tidak lepas dari nilai – nilai islam
d.      Pendidikan dilaksanakan secara moderasi dengan memperhatikan perkembangan usia dan jiwa serta nilai ajaran islam, agar pendidikan mengikuti zaman tetapi tetap dalam batasan islam
B.     Konsep Pendidikan Prespektif Muhammad Iqbal
Menurut Muh. Iqbal sebab kemunduran umat Islam disebabkan oleh buruknya pemikiran, untuk solusinya adalah membagkitkan pemikiran dan kreativitas umat Islam dalam menghadapi perubahan – perubahan yang ada berlandaskan al Quran dan Hadis, menurutnya ijtihad kolektif perlu dilakukan untuk kepentingan masyarakat
1.         Hakekat Manusia
Menurut Muh. Iqbal adalah setiap manusia memiliki kesatuan dan keunikan ego untuk menjalankan tugasnya di muka bumi. Kesatuan ego lebih bersifat internal dan keunikan ego berisifat eksternal bahwa masyarakat memiliki keunikan yang berbeda berdasarkan pengalaman yang telah diperolehnya. ketika ego terus mendapatkan pengalaman maka individu seseorang akan memiliki jiwa yang kuat dengan demikian dapat bersatu dengan masyarakat lainnya
2.         Hakekat Pendidikan Islam
Hakekat pendidikan Islam Iqbal adalah segala upaya atau proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk membantu mengembangkan individualitas seseorang agar siap memasuki dunia peradaban yang penuh dinamika dan perubahan berdasarkan ajaran Islam.
3.         Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam yaitu tercapainya kesempurnaan individualitas seseorang (peserta didik) melalui pertemuan antara ego kecil dengan ego besar, sehingga dalam dirinya tertanam sifat-sifat ketuhanan (insan kamil). Dan selalu melangsungkan kontak sosial untuk mewujudkan tugasnya sebagai khalifah.
4.         Strategi penerapan untuk mencapai tujuan pendidikan
Iqbal menawarkan prinsip-prinsip dasar pendidikan yang untuk mencapai tujuan pendidikan diantaranya:
a.       Konsep individualitas. Tujuan akhir pendidikan dan usaha sosial/budaya adalah memperkokoh individualitas semua pribadi.
b.      Pertumbuhan individualitas. Pertumbuhan dan perkembangan individu menuntut kegiatan intensif, beraneka, dan berkesinambungan dalam pertautan individu dan lingkungan yang berlangsung secara timbal balik, material maupun budaya.
c.       Keserasian jasmani dan rohani. Dalam mengejar nilai-nilai budaya dan rohaniah hendaknya manusia memanfaatkan dunia fisik sebagai bahan bakunya dan menggali/mengeksploitasi berbagai kemungkinan untuk meningkatkan derajat insan.
d.      Individu dan masyarakat.Pertautan individu dan masyarakat sebagai pertautan dinamis dan saling memperkaya, maka pendidikan harus selaras dengan pertautan tersebut.
e.       Evolusi kreatif. Pendidikan itu harus optimis karena pendidikan ialah suatu perjalanan yang benar dalam menggali kemungkinan yang tak terbatas.
f.       Peranan intelek dan intuisi. Intelek, perbuatan, kegiatan atau cinta menjadi satu kesatuan utuh dan dinamis, mampu mematahkan mekanisme kematian dengan menjadi individualitas insan tidak terhancurkan.
g.      Pendidikan watak. Interpretasi baru dari citra Islam yang diproyeksikan pada kondisi dan permasalahan kehidupan modern akan membangkitkan inspirasi yang mendorong pembinaan kembali kehidupan individual maupun sosial.
h.      Tata kehidupan sosial Islam. Tata kehidupan sosial Islam bersifat responsif terhadap kekuatan material dan budaya maka masyarakat insan harus dinamis dan mampu memperjuangkan perbaikan nasibnya sendiri.
i.        Suatu pandangan kreatif tentang pendidikan. Sistem pendidikan harus mempersiapkan anak didik untuk kehidupan yang aktif, bukan perenungan pasif dan tidak diciptakan sebagai menara gading.
5.         Relevansi strateginya dalam menghadapi tantagan internal dan eksternal
a.       Paradigama yang digunakan dalam pemikiran filsafat Iqbal adalah paradigma konstruktif, sehingga dalam mencari kebenaran terhadap sebuah realitas sosial senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai yang di anut Iqbal.Berdasarkan paradigma konstruktif tersebut, maka dalam konstruksi pemikiran pendidikan Islam Iqbal terdapat nilai-nilai, yaitu: nilai-nilai pendidikan tauhid, nilai-nilai pendidikan akhlak, nilai-nilai pendidikan akal (kecerdasan dan nilai-nilai pendidikan sosial. Nilai-nilai pendidikan tersebut sesemuanya juga bersumber dari pandangan Iqbal tentang ego yang merdeka dan senantiasa berproses menuju ke arah kesempurnaan yaitu Allah SWT. Dari pandangan itu akhirnya menghasilkan konsep ketuhanan dan dari padanyalah nilai-nilai pendidikan tersebut diatas terkandung didalamnya, dengan demikian siswa dapat menghadapi tatangan globalisasi dari barat tetap ada nilai islam meski mengikuti perkembangan teknologi
b.      Fase-fase pendidikan Islam harus disesuaikan dengan tahap perkembangan individualitas setiap orang. Menurut Iqbal fase-fase pendidikan tersebut adalah; pertama, taat kepada undang-undang, kedua, penguasaan diri, dan tahapan ketiga yang merupakan tahap kesempurnaan yaitu kekhalifahan Illahi.
c.       Materi pendidikan Islam Iqbal menekankan penggabungan studi agama, sejarah budaya, ilmu alam dan fisika, psikologi, metafisika, ilmu sosial dan sastra, agar siswa siap menghadapi tantangan baik masyarakat maupun ekonomi
d.      Metode pendidikan yang ditawarkan Iqbal adalah metode yang dapat memacu kreativitas dan perkembangan individualitas siswa. Metode tersebut yaitu metode eksperimen, metode trial and error, metode proyek dan metode struktur sosial, agar memberikan pengalaman bagi siswa untuk persiapan menghadapi tantangan zaman
C.    Konsep pendidikan Prespektif Mulla Sadra
1.         Konsep lintas trans-substansi manusia
Diantara persoalan yang penting yang menjadi bagian pembahasan dalam persoalan jiwa adalah transendensi jiwa rasional. Dalam kontek ini para filosof khususnya Mulla Sadra ingin menunjukkan bahwa jiwa setelah mengalami perkembangan akibat gerakan tran-substansial yang terjadi menyebabkan jiwa menjadi substansi yang non-material yang ada pada diri manusia. Hal ini menjadi landasan utama keabadian diri manusia karena perkembangannya yang me-non-materi tersebut dan kemampuan jiwa untuk dapat berpindah dari satu fase kehidupan (Nasy'ah) kepada fase kehidupan yang lain. Di antara argumentasi yang dikemukakan Mulla Sadra antara lain :
a.       Argumentasi ini berdasarkan prinsip ilmu huduri dengan penjelasan sebagai berikut; Kita dapat mempersepsi diri kita sendiri dan persepsi tersebut menghasilkan diri kita pada diri kita sendiri dan karena tidak ada sesuatu yang eksternal selain diri kita sendiri maka pastilah hadirnya zat diri kita pada diri kita bersifat huduri yaitu zat jiwa terhasilkan pada zat jiwa itu sendiri dan berdiri pada zatnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan terlepas dari materi. 
b.      Argumentasi kedua adalah argumentasi yang disebut Mulla Sadra dengan argumentasi Arsyiyyah dengan penjelasan sebagai berikut : Jika daya rasional sama seperti halnya daya-daya fisik yang lain dan berada pada dimensi materi maka pada daya ini akan berlaku hukum yang terjadi sebagaimana pada daya-daya fisik yang lain pada saat fisik tersebut mencapai usia tua. Seperti halnya daya-daya fisik menjadi lemah ketika tua demikian yang akan terjadi pada daya rasional akan tetapi kenyataan terjadi sebaliknya. Usia tua tidak menyebabkan lemahnya daya rasional bahkan semakin tua dan dewasa seseorang semakin kuat daya rasionalnya karenanya daya rasional bukanlah berada pada raga atau fisiknya akan tetapi pada sesuatu yang non-materi.
c.       Manusia terbagi menjadi 2 kategori. Pertama, dari al mabda` sampai substansi manusia bersifat natural yang dilaksanakan oleh malaikat dan kekuatan alam. Kedua, dari substansi manusia sampai dekat Allah dilakukan manusia melalui aktualisasi segala potensi yang dimiliki dan dayanya melalui pendidikan
Kita melihat pandangan utama bertransformasinya seluruh forma wujud pada tingkat yang lebih tinggi melalui gerakan trans-substansial yang dikembangkannya, yang pada akhirnya tentu saja melepaskan forma wujud tertentu dari materi, mengingat materi dalam dalam teori kosmologi Mulla Sadra menempati level terendah dari level-level wujud yang diutarakannya.
2.         Hakekat Pendidikan Islam
Hakekat pendidan Islam adalah usaha membantu pendakian manusia menuju kondisi pengetahuan yang sempurna agar dapat menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah
3.         Tujuan Pendidikan Islam
Penyempurnaan manusia dan jiwanya sehingga terbentuk manusia sempurna ( al Insan Al Kamil ) yang memperoleh pengetahuan sempurna tentang Tuhan
4.      Strategi penerapan untuk mencapai tujuan pendidikan
a.       Dalam melaksanakan pendidikan perlu adanya kegiatan untuk mengembangkan potensi siswa baik melalui kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual
b.      Melatih kemampuan rasional jiwa siswa
5.      Relevansi strateginya dalam menghadapi tantagan internal dan eksternal
a.       Pendidikan perlu mengaktualisasi kemampuan siswa agar mereka memiliki kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual serta dapat menghadapi permasalahan di masa mendatang
b.      Selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, agar para siswa selalu taat dan memegang nilai islam dalam kehidupan
D.    Konsep Kosmologi suci  Prespektif Hossein Nasr
Kegelisahan Nasr berawal dari krisis lingkungan global berakar pada hilangnya dimensi spiritual-keagamaan dari kehidupan manusia, indivi-dual dan budaya, termasuk pemahaman tentang alam. Dan harus kembali ke filsafat perennial. Filsafat Perennial: filsafat yang penting untuk mengetahui Basis spiritual segala sesuatu, tidak hanya dalam jiwa, namun juga di balik dunia dan jiwa dalam sisi transendetalnya.
Bagi Nasr, kosmologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas semua tatanan dari realitas formal.  Realitas fisik-material berasal dari realitas spiritual, dan terjaga keberlangsungannya olehnya. Dan realitas spiritual tertinggi adalah Realitas Ilahiah yang Esa. Realitas Ilahiah adalah pencipta kosmos (fisik-material dan spiritual) dan pemelihara-nya.tujuan, arti, dan makna hal ini memiliki tujuan kuantitatif, moral, intelektual, dan spiritual bagi manusia. tatanan alam yang begitu baik merupakan wujud kebijaksanaan dari ilahi. Jadi bumi dan isinya merupakan guru bagi manusia agar manusia lebih bijaksana dalam berbuat
Istilah suci merujuk kepada konsep alam ilahi yang dapat diketahui dengan kecerdasan spiritual
Manusia adalah perantara antara dunia fisik-material dan dunia spiritual. Salah satu tugas kemanusiaan adalah mengokohkan tatanan kosmos. Manusia memiliki jiwa untuk sarana mengenal Rab yang suci. Nasr menjelaskan bahwa aspek kearifan jauh lebih penting dalam ilmu pengetahuan daraipada aspek lainnya
Nasr mengajukan teori pendidikan lingkungan yang tujuan dari pendidikan Islam adalah menciptakan masyarakat yang baik dalam segala bidang, serta mencetak manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya yang terus berkembang
 Strategi penerapan untuk mencapai tujuan pendidikan diantaranya melakukan pelatihan nalar dan intuisi, perlu kajian terhadap ajaran Islm, perlu adanya pemecahan rahasiaalam
 Relevansi strateginya dalam menghadapi tantagan internal dan eksternal
a.       Perlunya pelatihan nalar dan intuisi, agar siswa terbiasa berfikir kritis dan dapat lebih dekat dengan Allah
b.      Perlunya kajian-kajian terhadap ajaran-ajaran (agama) secara ilmiah, eksoterik dan esoteric agar siswa selalu mewujudkan ajaran islam dalam kehidupan sehari – hari ditengah kerusakan moral bangsa
c.       Perlunya pemecahan rahasia-rahasia tatanan alam melalui metode ilmiah dan spiritual, agar para siswa nantinya dapat menghadapi permasalahan dalam berbagai bidang berlandaskan keilmuan dan keislaman
E.     Konsep rububiyah menurut Bagheri dan Khosravi
Konsep rububiyah yang dimaksud adalah  Pertama, mengetahui Allah sebagaimana Dia mengenalkan diriNya dalam Al-Qur’an, melibatkan rasionalitas. Mengingat bahwa masalah  utama setiap manusia terletak pada pilihan  antara berbagai "tuan," itu tak terelakkan bahwa mereka pada akhirnya akan memilih penguasa. Ketika sesuatu diambil sebagai Tuhan, ia mulai membentuk karakteristik mereka sesuai dengan sendiri.

           Unsur kedua, yaitu memilih Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Mengingat bahwa seseorang telah memperoleh pengetahuan rasional tentang Tuhan yang menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan, secara alami cukup rasional untuk memilih Dia sebagai Tuhan. Sebagai konsekuensi, iman kepada Allah seharusnya juga rasional. Adat istiadat, warisan budaya, atau indoktrinasi tidak dapat menjadi dasar bagi iman yang benar kepada Allah. Kebiasaan manusia mengikuti budaya, atau indoktrinasi tidak dapat dijadikan dasar bagi iman sejati kepada Allah.
Unsur  ketiga dari pendidikan Islam, yaitu, melakukan perintah Allah dan bertindak menurut mereka, juga harus bersikap rasional. Dengan demikian, harus ada alasan untuk melakukan tindakan.
Strategi penerapan untuk mencapai tujuan pendidikan diantaranya: membiasakan pendidikan akhlak dengan memberikan penjelasan suatu perintah berbuat, dalam pendidikan melibatkan aspek rasional
Relevansi strateginya dalam menghadapi tantagan internal dan eksternal:
1.       Hubungan guru dan peserta didik didasarkan tidak semata pada peniruan perilaku guru, namun disertai menjelasan sebab diperintah, agar siswa nantinya ketika menghadapi masalah dapat memahami arti dari perintah itu dan menerapkannya dalam menghadapi masalah tersebut berdasarkan Islam
2.       Dalam proses pendidikan tidak hanya diajarkan aspek kongnitif saja tetapi melibatkan rasional agar para siswa terbiasa berfikir masuk akal dalam menyelesaikan permasalahan yang semakin kompleks dewasa ini.


[1] Q.S As – Syams (91):1-7
[2] Q.S Al – Mu`mimun (23):33
[3] Q.S Ar Rahman (55):1-4
[4] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1999), 53.

Tidak ada komentar: