Februari 09, 2012

TELEVISI BAGI ANAK ?

Tayangan televisi ditengarai telah mempengaruhi munculnya perilaku negatif (agresif dan konsumtif) di kalangan anak-anak. Hampir seluruh sajian acara di televisi disuguhkan untuk konsumsi penonton dewasa. Sementara acara untuk anak-anak boleh dibilang sangat minim. Selain itu, sebagian besar jam tayang televisi (terutama TV swasta) menyajikan tayangan-tayangan yang bersifat informasi dan hiburan (infotainment). Bahkan dapat dikatakan wajah tayangan televisi kita didominasi oleh sinetron dan informasi selebriti. Ironinya, alur cerita yang ada belum beranjak dari isu perselingkuhan, percintaan, dan kekerasan. Situasi ini semakin diperparah oleh jam tayang yang “memaksa” anak-anak ikut menonton.
Bila dicermati lebih mendalam ternyata dampak tayangan TV tidak hanya mempengaruhi pola tingkah laku tetapi juga mempengaruhi pola tutur kata anak. Ungkapan “papa jahat” atau “mama jahat” acap diucapkan seorang anak manakala orang tuanya tidak mengabulkan permintaan anaknya. Contoh lain, seorang anak juga sering mengatakan kata-kata yang mengandung unsur kekerasan atau kata-kata negatif seperti “bodoh”, “aku bunuh kau”, “aku benci kamu”, atau “emangnya gue pikirin”
Tayangan televisi yang telah meresahkan masyarakat memang membutuhkan dimensi kepedulian moral bagi pengelola atau lembaga penyiaran. Pihak pengelola televisi memang sering dihadapkan pada dilematis antara dimensi idiil dan dimensi komersial. Meskipun secara filosopis idealisme (dimensi idiil) menjadi ciri hakiki pers tetapi realitas menunjukkan bahwa aspek komersial lebih menggejala. Pengelola penyiaran televisi masih terjebak pada upaya menayangkan siaran-siarannya yang mengarah pada unsur hiburan dan informasi semata (infotainment). Sementara televisi sebagai media massa memiliki fungsi di bidang pendidikan dan kontrol/perekat sosial.

Agaknya pemahaman bahwa tayangan televisi sebagai media yang mampu menimbulkan atau mempengaruhi perilaku pemirsanya belum seutuhnya disadari. Berdasarkan kajian psikologi komunikasi tayangan-tayangan televisi menawarkan atau menyajikan pesan-pesan yang akan menstimulus organisme penontonnya. Stimulus pesan-pesan televisi ini sebelum menimbulkan respon akan mengendap di organisme penontonnya setelah melalui tahapan perhatian, pengertian, dan penerimaan. Bagi penonton dewasa tentu efek negatif yang ditimbulkan tidak begitu besar dibandingkan penonton anak-anak atau remaja.
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik dibandingkan anak-anak. Penonton dewasa bukanlah audience pasif. Artinya, organisme penonton dewasa sebagaimana konsepsi teori S-O-R (Stimulus Organisme Respon) yang telah dikembangkan Hovland lebih bersifat aktif dibandingkan penonton anak-anak. Penonton dewasa telah mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk sementara penonton anak-anak belum mampu mengkritisi atau memfilter pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya (black box).
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil. Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak, mereka akan meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan televisi sesuai dengan teori modeling akan menjadi model perilaku anak-anak.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika tayangan smackdown membuat geger jagat nusantara. Aksi kekerasan yang diperagakan anak-anak merupakan dampak negatif setelah menonton acara smackdown di televisi. Dengan polos dan lugu mereka mempraktekkan aksi membanting seperti adegan yang telah disaksikannya di layar kaca.
Berdasarkan kajian, saat ini 6-7 jam televisi membombardir tayangan-tayangannya kepada anak-anak. Dapat dibayangkan, bagaimana pesan-pesan televisi “meracuni” pikiran anak-anak yang secara psikologis masih pada tahap mencari jati diri dengan sifat ingin tahunya yang begitu besar. Melihat kondisi yang ada dapat disebutkan bahwa 1/3 hari anak-anak dihabiskan dengan “berpetualang” dengan tayangan televisi. Bahkan tidak salah jika disebutkan tayangan televisi telah menjadi “orang tua” bagi anak-anak.
Celakanya, saat menonton TV tak jarang orang tua (terutama kaum ibu) larut dalam alur cerita yang disajikan. Saat menonton sinetron misalnya, orang tua yang semestinya harus menjadi komentator dalam mendampingi anaknya menonton TV justru terhipnosis oleh adegan-adegan yang ditonton. Akibatnya, selain tak kuasa melarang anak untuk menonton TV, tak jarang orang tua hanya duduk diam menikmati acara tanpa berkomunikasi dengan anaknya.
Meskipun sulit untuk melarang anak untuk menonton TV, setidaknya kesadaran akan dampak negatif tayangan TV meski disikapi secara arif. Orang tua mesti mendampingi anak-anaknya saat menonton TV. Beri Komentar atau penjelasan kepada anak saat ada adegan atau informasi yang tidak patut dicontoh oleh anak. Bila perlu masyarakat dapat melakukan boikot terhadap tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Setidaknya masyarakat harus secara aktif ikut mengawasi isi siaran TV. Laporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Barat kalau menyaksikan program acara TV yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
            Sementara itu, kita berharap pihak pengelola TV berkenan menyajikan tayangan-tayangan yang berkualitas. Meskipun kita menyadari bahwa TV harus survive. Tetapi hal ini tidak serta merta dengan menayangkan tayangan-tayangan yang kurang bermutu. Saatnya acara untuk anak-anak menjadi perhatian khusus. Sebab, anak-anak adalah korban tayangan-tayangan TV. Anak-anak belum memiliki kemampuan untuk mencerna pesan tayangan TV yang diterimanya. Artinya, anak-anak akan “menelan mentah-mentah” semua informasi yang diperolehnya. Semua yang ditontonnya dianggap sebagai sesuatu yang benar (legitimate). Di sinilah kepedulian moral dan tanggung jawab social pengelola TV dalam menyajikan tontonan yang sehat dan cerdas dipertaruhkan. Sebab, kreativitas yang merupakan kunci pengembangan TV tidak identik dengan penyajian tayangan-tayangan yang berdampak negatif pada perilaku anak. 

Tidak ada komentar: