Peradaban yang dibangun agama Islam adalah adalah peradaban ilmu. Mulai
dari ayat suci Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan di muka bumi dan
ayat-ayat lain yang turun berikutnya, hingga sunnah serta sejarah hidup
Rasulullah SAW cukup menjadi bukti kongret bagaimana perhatian Islam terhadap
ilmu dan pendidikan sedemikian besar. Semangat intelektualitas yang membara dan
pemahaman yang benar terhadap konsep ilmu yang terwariskan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi SAW oleh para penerus sejarah umat ini juga telah memunculkan
sebuah peradaban besar yang sangat berjasa bagi tumbuh berkembangnya peradaban
Barat yang datang kemudian dan biasa kita sebut sebagai perdaban modern.
Diskursus mengenai konsep ilmu dan pendidikan juga mendapat porsi besar
dalam berbagai literatur dan tulisan para sarjana muslim terkemuka yang pernah
muncul dalam bentangan sejarah panjang peradaban Islam. Sekedar menyebut
contoh, adalah Ibn Hazm al-Andalusi, seorang sarjana yang sangat piawai
berbicara mengenai filsafat, teologi, hukum (fiqh), sejarah maupun
politik, karya-karyanya tak luput berbicara mengenai pemikiran pendidikan yang
bertebaran dalam berbagai bukunya seperti Ţawq al-Hamāmah, Mudāwāh
al-Nufūs atau Al-Taqrib fi Hadd al-Mantiq wa al-Madkhal fīh.[1]
Demikian pula dengan Abu Hāmid al-Ghazāli (w.505 H) atau para sarjana yang
menulis buku-buku spesifik mengenai pendidikan seperti Muhamad ibn Sahnūn
al-Tanūkhi (160-240H) dalam karyanya Ādāb al-Mu`allimīn wa al-Muta`allimīn, Ibn
Al-Jazzār al-Qayruwāni (w.369H) dengan Siyāsah al-Şibyān wa Tadbīruhum,
Nāşiruddīn al-Ţūsi (567-672 H) yang mengarang buku Ādāb al-Muta`allimīn,
Ibn Jamā`ah (639-733H) dengan karyanya Tadzkirah al-Sāmi` wa al-Mutakallim
fī Ādāb al-`Ālim wa al-Muta`allim atau Al-Sam`āni (506-562H) dengan bukunya
Adab al-Imlā’ wa al-Istimlā’, Burhānuddīn al-Zarnuji (w.591H) dengan Ta`līm
al-Muta`allim, serta Al-Shawkāni (w. 1281H) dengan Adab al-Ţalab wa
Muntahā al-Arab dan lain-lain.[2]
Namun ironisnya, kualitas pendidikan di dunia Islam secara umum dalam
konteks kekinian telah dan masih terus mengalami kondisi yang sangat
menyedihkan (deplorable), sehingga membutuhkan sebuah solusi dan
langkah-langkah efektif untuk kembali membangkitkannya baik usaha-usaha itu datang
dari para individu sarjana/tokoh cendekiawan maupun organisasi-organisasi
keagamaan. Tentunya, sebagaimana laiknya usaha-usaha yang dilakukan manusia,
sebuah aktivitas pendidikan senantiasa memerlukan peninjauan ulang setiap waktu
untuk dievaluasi, baik dalam kerangka evaluasi permulaan (taqwīm ibtidā’ī,
initial evaluation) maupun evaluasi akhir (summative evaluation, taqwīm
khitami) untuk dilakukan perbaikan-perbaikan dan sejumlah perubahan.
Salah satu kritik tajam yang seringkali dialamatkan kepada kondisi
pendidikan Islam kontemporer adalah adanya dominasi indoktrinasi dan pendekatan
metode belajar-mengajar yang cenderung
monolog, serta menonjolnya sikap taqlid yang pasif sehingga dianggap
mengabaikan aspek-aspek rasionalitas serta kritisisme dalam proses pendidikan
yang berlangsung. Sementara itu
dari sebagian kalangan pakar pendidikan yang lain, khususnya dari kalangan
Barat, melihat bahwa ada yang salah dengan konsep – konsep pendidikan Islam
yang seakan menolak rasionalisme, terutama rasionalisme liberal peradaban
Barat. John M. Hasltead seorang professor pendidikan asal Inggris dalam sebuah
kajiannya menyimpulkan bahwa konsep pendidikan islam secara umum sangat tidak
rasional. Halstead memang
berlebihan sehingga ia rentan terhadap kontradiksi dari kalangan sajana muslim,
seperti dilakukan oleh dua orang professor pendidikan asal Iran, Khosrow
Bagheri dan Zohreh Khosravi yang
berhasil membuktikan melalui salah satu kajian kritisnya terhadap pendapat
Halstead tersebut. Untuk itu makalah ini
akan berupaya melihat sejauh mana sebenarnya Islam memandang aspek rasionalitas
dalam proses pendidikan dengan menggunakan ‘kacamata’ atau perspektif pemikiran
tokoh muslim modern tersebut.
Khosrow Bagheri memiliki sebuah gelar B.A. dalam
psikologi, MA dalam filsafat
pendidikan, dan Ph.D. dalam filsafat pendidikan dari New South Wales University, Australia (1995). Dia
adalah seorang profesor di Fakultas
Psikologi dan Pendidikan (Departemen Sosial dan
Yayasan Filosofis) di Universitas Teheran, Iran. Zohreh
Khosravi memiliki sebuah B.A. dan sarjana sastra dalam psikologi dan Ph.D. dalam
psikologi (1996) dari Universitas New South
Wales, Australia. Dia adalah
seorang profesor di Fakultas Pendidikan dan Psikologi (Departemen Psikologi) di Universitas al-Zahra, Iran.
Uraian makalah lebih lanjut silahkan downloand di sini
[1] Sa`īd Ismā`il Ali, Al-Fikr al-Tarbawi al-`Arabi
al-Hadits, Serial `Ālam al-Kutub edisi 113, Kuwait: Al-Majlis
Al-Waţani li al-Tsaqāfah, 1987, hlm. 11-13
[2] Şālih ibn `Ali Abū `Arrād, Al-Tarbiyah
Al-Islāmiyah: `Ilm Tsunā’iyy al-Maşdar, ebook diterbitkan oleh situs www.saaid.net,
1428H, hlm. 25-27
1 komentar:
sangat baik sanggahan dari Halstead
Posting Komentar