Desember 30, 2015

KAJIAN HADIS :HADIS MUKHTALIF



 Latar Belakang
 Umat Islam telah mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadis, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya[1]. Dalam proses perkembangannya ilmu hadis mengalami beberapa kemajuan dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam dunia penelitian hadis.
Oleh karenanya banyak sudah kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadis –hadis. Baik dari segi pembagiannnya ataupun ilmu-ilmu yang mendukung adanya pembukuan hadis. Dan juga dalam perkembangananya hadis juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana caranya memahami hadis. Dalam hal ini penulis bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu Muhktalif Al Hadis
Ilmu mukhtalif al-Hadis termasuk ilmu terpenting bagi ahli hadis, ahli fiqh dan ulama-ulama lain. Bagi yang hendak menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman. Orang yang bisa mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadis dan fiqh. Dalam hal ini, As-Syakhawi mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadits dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam”.[2]
Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafal hadis, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan khash-nya, yang muthlaq dan muqayyad-nya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Karena tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadis, menghimpun sanad-sanadnya dan  menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Para ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif al-hadis dan musykil al-hadis ini sejak masa para sahabat Rasul saw  yang menjadi rujukan  utama segala persoalan setelah  Rasulullah  saw  wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antara berbagai hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengompromikan antara hadis yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Para ulama memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh aliran, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah seputar beberapa hadits. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar mengenai hal-hal tersebut dan menghimpunnya di dalam karya-karya spesifik. [3]


B.       RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan pembahasan makalah ini adalah:
1.      Bagaimana pengertian hadis mukhtalif ?
2.      Apa penyebab munculnya hadis mukhtalif ?
3.      Bagaimana metode memahami hadis mukhtalif ?
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN HADIS MUKHTALIF
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif Al-Hadis, ialah:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadis-hadis yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya[4].
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, hadis-hadis yang tampaknya bertentangan akan diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga musykil yang terlihat dalam suatu hadis, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut.
Definisi yang lain menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث أمكان الجمع بينها
أما بتقييد مطلقها أو بتخصيص عامها أوحملها على تعدد الحادثة أو غير ذلك
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut, dan lain-lain[5].
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu ta’wil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama[6].
Objek ilmu ini mengarah pada hadis-hadis yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyd) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathf  biasa disebut al-ahds allat mutadh dan f al-ma’n bi hasabi azh-zhhiry[7]. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadis dan fiqih[8]. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadis, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadis.
Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadis) dua atau lebih hadis yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadis tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadis, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan lain-lain.
Sebagai contoh adalah dua hadis shahih di bawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الْبَعِيرَ يَكُونُ بِهِ الْجَرَبُ فَتَجْرَبُ الْإِبِلُ قَالَ ذَلِكَ الْقَدَرُ فَمَنْ أَجْرَبَ الْأَوَّلَ ؟ (رواه احمد)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Abu Janab dari Ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada penyakit menular, thiyarah (firasat buruk) dan burung hantu." Lalu seorang laki-laki menghadap beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan unta yang terkena penyakit kudis hingga seluruh unta terkena kudis?" Beliau menjawab: "Itulah takdir, lalu siapakah yang menulari unta pertama?” (HR. Ahmad).
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلاَسَدِ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa…(HR. Bukhari-Muslim).
Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadis ini, antara lain:
1.       Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya) adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-beda.
2.        Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “l ‘adwa” itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tidak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular”.

B.       SEBAB – SEBAB MUNCULNYA HADIS MUKHTALIF
  1. Faktor internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadis tersebut yang nantinya kedudukan hadis tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadis tersebut ditolak ketika hadis tersebut berlawanan dengan hadis shahih.
  2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan hadisnya.
  3. Faktor metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian dari hadis yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan hadis-hadis yang mukhtalif.
  4. Faktor ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang[9].

C.      METODE MEMAHAMI HADIS MUKHTALIF
Ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh[10]. Berikut pembahasannya :
1.         Metode al-Jam’u (pengkompromian)
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan hadis mukhtalif  ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Metode al-jam’u ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan hadis–hadis yang shahih. Untuk menemukan benang merah antara kedua hadis yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a)      Menggunakan Pendekatan Kaidah Ushl
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaidah ushl ialah memahami hadis Rasulullah dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah ushl yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushliyn). Adapun yang menjadi objek kajian ilmu ushl fiqh ialah bagaimana meng-istimbath-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an maupun hadisUntuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. 
Di antara kaidah ushl yang terkait seperti am, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum harus dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan yang muqayyad.[11]
Sebagai contoh hadis tentang mengambil upah dari jasa berbekam:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ (رواه أحمد)
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari, upah bekam, hasil penjualan anjing dan penjualan sperma binatang jantan.” (HR. Ahmad) 
Hadis ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ  فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ (رواه مسلم)
Artinya :“Dari Humaid dia berkata, “Anas bin Malik ditanya mengenai (upah) tukang bekam, dia lalu menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam & yang membekam beliau adalah Abu Thaibah, lantas beliau memerintahkan (keluarganya) supaya memberikan kepada Abu Thaibah dua gantang makanan.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadis pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, hadis kedua dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan. Hadis pertama menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram.
Para ulama mencoba memahami pertentangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasbul-hajm  merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qarinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya. [12]Adanya qarinah menjadikan kasb al-hajm tidak lagi haram akan tetapi makruh.
b)       Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami hadis- hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya hadis, dengan memperhatikan asbb al-wurhadîs-hadîs tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks.
Jika asbb al-wurhadîs tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami maksud yang dituju suatu hadis sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu hadis dengan yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks hadis menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman hadis . Jika konteks suatu hadis  diikutsertakan dalam memahami hadis - hadis  mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan masing-masing hadis  dapat diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh diambil hadis  tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al-Matsna, kesemuanya dari Yahya Al-Qathaniy, Zuhair berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidillah, telah mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi saw, beliau bersabda : "Janganlah seorang laki-laki membeli atas pembelian saudaranya dan janganlah melamar atas lamaran saudaranya kecuali dia mengijinkannya". ( HR Muslim )
Hadis lain yang dipandang bertentangan ialah:

قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ(رواه مسلم)
Artinya:” Dia (Fathimah binti Qais) berkata: Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda:"Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya, sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya. ( HR. Muslim)
 Dalam hadis pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam hadis kedua justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah binti Qais untuk Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua hadis tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa hadis pertama tidak bertentangan dengan hadis kedua karena hadis  pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu, tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya.[13] Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya hadis  pertama ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutnya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks hadis  pertama.
Sementara hadis  kedua, berbeda konteksnya dengan hadis  pertama. Fatimah binti Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan hadis  pertama – karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah. Hal ini menggambarkan bahwa konteks hadis  pertama berbeda dengan konteks hadis kedua,  hadis pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara hadis  kedua kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
c)      Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadis dengan hadis lainnya yang dipandang  mukhtalif  yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua hadis  saja akan tetapi bisa saja ada bebarapa hadis  yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua hadis  tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu hadis  dengan hadis  lainnya sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
Sebagai contoh dikemukan hadis - hadis  tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat.[14]
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ ( رواه البخاري )


Artinya:“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melarang mengerjakan sholat setelah sholat subuh hingga matahari meninggi dan bercahaya dan setelah sholat ‘ashar hingga matahari tenggelam(HR. Buhkhari)
Dalam hadis lain dinyatakan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى( رواه البخاري )
Artinya: Dari Anas, dari Nabi Saw sabdanya :Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat maka sholatlah setelah dia ingat tidak ada hukuman baginya selain dari itu dan kerjakanlah sholat untuk mengingat Allah.(HR. Bukhari)
Dua hadis di atas sama-sama diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab shahîh-nya. Hadis  pertama menegaskan larangan menunaikan shalat di waktu setelah subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara hadis kedua tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik waktu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam matahari.
Dua hadis  di atas dipandang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh hadis  pertama adalah shalat sunnah, sementara hadis  kedua merupakan shalat wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat.
d)      Menggunakan Cara Ta’wîl
Ta`wil berarti memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafadz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dilakukan makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafadz hadis dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafadz. Pemalingan ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendakinya. Oleh al-Syafi’iy metode tawil dipandang dapat digunakan untuk menghilangkan pertentangan antara satu hadis dengan hadis  lainnya.Contoh:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ( رواه مسلم)

Artinya:”Dari Rafi` bin Khadiij dari Nabi Muhammad saw bersabda: “Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala (HR. Muslim)

كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ ( رواه البخاري و مسلم)
Artinya:“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 Hadis pertama pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebih afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh pada saat sudah mulai terang. Sedangkan hadis  kedua menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ia ghalas,  yakni susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua hadis di atas menampilkan pertentangan antara satu dengan lainnya, di mana hadis pertama di akhir waktu dan hadis  kedua di awal waktu.
Dalam masalah ini Imam al-Syafi’iy justru tidak melihat pertentangan antara kedua hadis  di atas. Imam Syafi’iy men-takwil-kan kata isfâr pada hadis  pertama. Di mana isfâr yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain, makna isfâr pada hadis  pertama di-takwil-kan dengan makna ghalas pada hadis  kedua. Hal ini dilakukan karena hadis  kedua dipandang memiliki nilai lebih dibanding hadis  pertama untuk dijadikan sebagai hujjah.
2.      Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadis-hadis yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadis yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan hadis yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah hadis tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadis berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار ( رواه أبو داوود)
Artinya : “Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya?” Nabi menjawab:” tidak”. Kami berkata: “dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya?” Nabi menjawab: “Orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya”. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[15]
Hadis tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan Al Quran surat al Takwir :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9)  
Artinya: “Dan apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh”.(QS. At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk Surga, orang yang mati syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan masuk Surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga. (HR. Ahmad.)
3.         Metode Nasikh Mansukh
Jika ternyata hadis tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode naskh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang dulu dan makna hadits yang datang belakangan. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syariat yang datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadis-hadis yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadis yang bersifat global atau hadis-hadis yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadis hanya terjadi disaat Nabi Muhammad saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi).
Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadis tentang hukum makan daging kuda:
 عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ    (رواه أبو داوود, النسائ, و ابن ماجه )
Artinya: Dari Khalid bin Walid, sesungguhnya dia berkata : “Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging kuda, bighal, keledai serta semua hewan yang memiliki taring dari binatang buas.” (HR. Abu Dawud, An Nasaa-i dan Ibnu Majah)
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية ورخص في الخيل ) رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Khaibar melarang makan daging keledai piaraan dan beliau memberi keringanan untuk kuda.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 Dua hadis di atas terlihat saling bertentangan, hadis pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadis kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertentangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadis pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadis Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.[16]

BAB III
KESIMPULAN


1.      Hadis Mukhtalif adalah hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya atau yang sulit dipahami kandungan maknanya , dengan menjelaskan hakikatnya, baik dengan cara men-taqyid kemutlakannya, atau men-takhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut, dan lain-lain
2.      Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hadis mukhtalif , diantaranya: Faktor internal, eksternal, faktor metodologi, dan faktor ideologi.
3.      Beberapa metode untuk memahami hadis mukhtalif diantaranya : pertama, Metode al-Jam’u (penggabungan atau pengkompromian), yaitu dengan metode kompromi dalam menyelesaikan hadîs mukhtalif  ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk metode ini diantaranya: a) Menggunakan pendekatan kaidah ushl, b) Pemahaman kontekstual, c) Pemahaman korelatif, d) Menggunakan cara ta`wil. Kedua, Metode tarjih, metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadis-hadis yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadis yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil. Ketiga, metode nasikh mansukh, dengan dicari makna hadis yang lebih datang dulu dan makna hadis yang datang belakangan.








DAFTAR PUSTAKA




Al Adhlabi, Shalahuddin Ibn Ahmad. 1983. Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadist al Nabaw.i.Beirut : Dar al fikr al jadidah

Al-Khathib, Muhammad Ajjaj. 1998.Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet. ke-1

G.H.A Juynboll.1969.The Authenticity of the Tradition Literature;discussion in Modern Egypt Ladien E.J Brill.

 ‘Itr, Nuruddin. 1994. Ulum al-Hadits, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. ke-1, Jilid 2

Mustaqim,Abdul. Ilmu Ma’anil Hadist .2008. Yogyakarta : Idea Press

Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

,Al-Qaththan. 2005. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

___________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi Aksara,1997

Zuhad, Fenomena Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya, Semarang: Rasail Media Group, 2010.







[1] Sa’adullah, Hadis-hadis Sekte ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 ), hlm.11
[2] M. Ajaj, Ushul al-Hadits ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000 ), hlm. 362-363
[3] M. Ajaj, Ushul al-Hadits ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000 ), hlm. 249
[4] Muhammad Ajjaj , Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), Cet. ke-1, hlm. 254
[5] Subhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu ( Beeirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayyin, 1994), hlm. 111
[6] Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), Cet. ke-1, hlm. 283
[8] Manna’ al-Qaththan. Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005), hlm,.103.
[9] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[10] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, al-Umm, (Bairût : Dâr al-Fikr, 1983), Cet Ke-3, Jilid VII, hlm. 196
[11] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hlm. 97
[12] Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), hlm. 169
[13] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts (Bairût: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), hlm. 247-248
[14] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts (selanjutnya disebut dengan al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts), (Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 112-118

[15] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadits al Nabawi (Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah, 1983), hlm. 115

Tidak ada komentar: