Latar Belakang
Umat Islam telah mengalami kemajuan pada zaman
kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar
tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit
jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadis, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf,
sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya[1]. Dalam
proses perkembangannya ilmu hadis mengalami beberapa kemajuan dalam tingkat
kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan pemikiran yang lahir
dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam dunia penelitian
hadis.
Oleh karenanya banyak sudah kitab-kitab khusus yang
membahas tentang hadis –hadis. Baik dari segi pembagiannnya ataupun ilmu-ilmu
yang mendukung adanya pembukuan hadis. Dan juga dalam perkembangananya hadis
juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana caranya memahami
hadis. Dalam hal ini penulis
bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu Muhktalif
Al Hadis
Ilmu mukhtalif al-Hadis
termasuk ilmu terpenting bagi ahli hadis, ahli fiqh dan ulama-ulama lain. Bagi
yang hendak menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas,
terlatih dan berpengalaman. Orang yang bisa mendalaminya hanyalah mereka yang
mampu memadukan antara hadis dan fiqh. Dalam hal ini, As-Syakhawi mengatakan: “Ilmu
ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di
berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang
berstatus imam yang memadukan antara hadits dan fiqh dan yang memiliki
pemahaman yang sangat mendalam”.[2]
Ilmu ini merupakan salah
satu buah dari penghafal hadis, pemahaman secara mendalam terhadapnya,
pengetahuan tentang ‘am dan khash-nya, yang muthlaq dan muqayyad-nya
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Karena tidak
cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadis, menghimpun sanad-sanadnya
dan menandai kata-katanya tanpa
memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Para ulama telah memberikan
perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif al-hadis dan musykil
al-hadis ini sejak masa para sahabat Rasul saw yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah
Rasulullah saw wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai
berbagai hukum, memadukan antara berbagai hadis, menjelaskan dan menerangkan
maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka,
mengompromikan antara hadis yang tampaknya saling bertentangan dan
menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Para ulama memiliki peran yang besar
dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh
aliran, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah seputar beberapa hadits. Mereka
menjelaskan pemahaman yang benar mengenai hal-hal tersebut dan menghimpunnya di
dalam karya-karya spesifik. [3]
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan pembahasan makalah ini adalah:
1.
Bagaimana pengertian hadis mukhtalif
?
2.
Apa penyebab munculnya hadis mukhtalif
?
3.
Bagaimana metode memahami hadis mukhtalif ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADIS
MUKHTALIF
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif
Al-Hadis, ialah:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut lahirnya
saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan
atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadis-hadis yang
sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta
menjelaskan hakikatnya[4].
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan
menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, hadis-hadis yang tampaknya
bertentangan akan diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu
juga musykil yang terlihat dalam suatu hadis, akan segera dapat
dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut.
Definisi yang lain menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث أمكان الجمع بينها
أما بتقييد مطلقها أو بتخصيص عامها أوحملها على تعدد الحادثة أو غير ذلك
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya
saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan
cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara
membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut, dan
lain-lain[5].
Sebagian ulama menyamakan
istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu
ta’wil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan
tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama[6].
Objek ilmu
ini mengarah pada hadis-hadis yang saling berlawanan untuk dikompromikan
kandungannya dengan jalan membatasi (taqy
d) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal
al-Lath
f biasa disebut al-ah
d
s allat
mutadh
dan f
al-ma’n
bi hasabi azh-zh
hiry[7]. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang
yang menguasai hadis dan fiqih[8].
Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori
munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya
besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang
kitab mukhtalif al-hadis, tetapi di dalam kitab al-Umm
beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadis.









Jadi, ilmu ini berusaha
untuk mempertemukan (talfiq al-hadis) dua atau lebih hadis yang
bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadis tersebut
adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadis, men-takhish keumumannya,
atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak
datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan
lain-lain.
Sebagai contoh adalah dua hadis shahih di bawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا
أَبُو جَنَابٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ قَالَ
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الْبَعِيرَ
يَكُونُ بِهِ الْجَرَبُ فَتَجْرَبُ الْإِبِلُ قَالَ ذَلِكَ الْقَدَرُ فَمَنْ
أَجْرَبَ الْأَوَّلَ ؟ (رواه
احمد)
Artinya: “Telah menceritakan
kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Abu Janab dari Ayahnya dari
Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak ada penyakit menular, thiyarah (firasat buruk) dan burung
hantu." Lalu seorang laki-laki menghadap beliau dan bertanya, "Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan unta yang terkena penyakit kudis hingga
seluruh unta terkena kudis?" Beliau menjawab: "Itulah takdir, lalu
siapakah yang menulari unta pertama?” (HR. Ahmad).
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلاَسَدِ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu
lari dari singa…”(HR.
Bukhari-Muslim).
Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadis ini,
antara lain:
1.
Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan
sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya)
adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-beda.
2.
Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam
penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan
penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “l
‘adwa”
itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw,
mengatakan: “Tidak ada suatu
penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang
dapat menular”.

B.
SEBAB – SEBAB
MUNCULNYA HADIS MUKHTALIF
- Faktor internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadis tersebut yang nantinya kedudukan hadis tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadis tersebut ditolak ketika hadis tersebut berlawanan dengan hadis shahih.
- Faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan hadisnya.
- Faktor metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian dari hadis yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan hadis-hadis yang mukhtalif.
- Faktor ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang[9].
C.
METODE MEMAHAMI
HADIS MUKHTALIF
Ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian
dengan cara nasakh dan penyelesaian
dengan cara tarjîh[10].
Berikut pembahasannya :
1.
Metode al-Jam’u (pengkompromian)
Adapun yang
dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan hadis mukhtalif ialah
menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara
menelusuri titik temu kandungan makna sehingga maksud sebenarnya yang dituju
oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman
yang tepat yang menunjukkan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat
diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Metode al-jam’u ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan
hadis–hadis yang shahih. Untuk menemukan benang merah
antara kedua hadis yang
saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a) Menggunakan
Pendekatan Kaidah Ush
l

Penyelesaian
berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaidah ush
l ialah memahami hadis Rasulullah dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah ush
l yang terkait yang telah
dirumuskan oleh ulama (ush
liy
n). Adapun
yang menjadi objek kajian ilmu ush
l fiqh ialah
bagaimana meng-istimbath-kan hukum dari
dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an maupun hadis. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud,
maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh
dalil.





Di antara kaidah ush
l yang terkait seperti am, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum harus dipahami dengan
keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya,
apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya
maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga
bagi nash yang muthlaq dengan
yang muqayyad.[11]

Sebagai contoh hadis tentang
mengambil upah dari jasa berbekam:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ (رواه
أحمد)
Artinya: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari, upah bekam, hasil penjualan
anjing dan penjualan sperma binatang jantan.” (HR. Ahmad)
Hadis ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian
hadis lain menyebutkan:
عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ (رواه
مسلم)
Artinya :“Dari
Humaid dia berkata, “Anas bin Malik ditanya mengenai (upah) tukang bekam, dia
lalu menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam &
yang membekam beliau adalah Abu Thaibah, lantas beliau memerintahkan (keluarganya)
supaya memberikan kepada Abu Thaibah dua gantang makanan.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah pernah
berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh
Rasulullah. Hadis pertama dikeluarkan oleh
al-Nasâ’iy, hadis kedua
dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi
antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan. Hadis pertama menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari
berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram.
Para ulama mencoba memahami
pertentangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasbul-haj
m
merupakan suatu yang muthlaq, kemudian
dibatasi oleh adanya qarinah untuk
mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya. [12]Adanya qarinah menjadikan kasb al-haj
m tidak lagi haram akan tetapi
makruh.


b) Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud
di sini ialah memahami hadis- hadis Rasulullah dengan memperhatikan
dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi
latarbelakang disampaikannya hadis, dengan memperhatikan asb
b al-wur
d hadîs-hadîs tersebut. Dalam kata lain
dengan memperhatikan konteks.


Jika asb
b al-wur
d hadîs tidak diperhatikan, maka akan
terjadi kekeliruan dalam memahami maksud yang dituju suatu hadis sehingga hal ini menimbulkan
penilaian yang bertentangan antara satu hadis dengan yang lainnya. Oleh sebab
itu mengetahui konteks hadis menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman hadis . Jika konteks suatu hadis diikutsertakan dalam memahami hadis - hadis mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya
sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan
masing-masing hadis dapat diketahui arah pemahamannya.


Sebagai contoh diambil hadis tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ. (رواه
مسلم)
Artinya: “Dan telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al-Matsna, kesemuanya
dari Yahya Al-Qathaniy, Zuhair berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahya
dari 'Ubaidillah, telah mengabarkan
kepadaku Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi saw, beliau bersabda : "Janganlah
seorang laki-laki membeli atas pembelian saudaranya dan janganlah melamar atas
lamaran saudaranya kecuali dia mengijinkannya". ( HR Muslim )
Hadis lain yang dipandang bertentangan ialah:
قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ(رواه مسلم)
Artinya:” Dia (Fathimah
binti Qais) berkata: “ Setelah
masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw )
bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas
Rasulullah saw bersabda:"Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah
meninggalkan tongkatnya dari lehernya, sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang
miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid."
Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap
bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, maka
Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia
hidup dengannya”. ( HR. Muslim)
Dalam hadis pertama Rasulullah melarang
meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam hadis kedua justru Rasulullah sendiri
yang meminang Fatimah binti Qais untuk Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm.
Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan
pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak
dilihat konteks kedua hadis tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa hadis pertama tidak bertentangan
dengan hadis kedua karena hadis pertama berlaku pada kondisi
dan situasi tertentu, tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya.[13] Adapun yang menjadi latar belakang
dituturkannya hadis pertama ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang
perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutnya diteruskan kejenjang
perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata
lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia
pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks hadis pertama.
Sementara hadis kedua, berbeda konteksnya dengan hadis pertama. Fatimah binti Qais datang kepada Nabi
seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm.
Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan hadis pertama – karena Rasulullah
tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu,
sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu
Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah. Hal ini
menggambarkan bahwa konteks hadis pertama berbeda dengan konteks hadis kedua, hadis pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya
telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi
menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara hadis kedua kondisi di mana seorang
laki-laki baru sebatas mengajukan pinangan, belum ada kepastian diterima atau
ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak
pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
c) Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif yang dimaksud
ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadis dengan hadis lainnya yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang
nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam
menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua hadis saja akan tetapi bisa saja ada bebarapa hadis yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu
semua hadis tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan
makna antara satu hadis dengan hadis lainnya sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu
masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
( رواه البخاري )
Artinya:“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam melarang mengerjakan sholat setelah sholat subuh hingga
matahari meninggi dan bercahaya dan setelah sholat ‘ashar hingga matahari
tenggelam”(HR. Buhkhari)
Dalam hadis lain dinyatakan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى(
رواه البخاري )
Artinya: “Dari Anas, dari Nabi Saw sabdanya :”Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat maka sholatlah
setelah dia ingat tidak ada hukuman baginya selain dari itu dan kerjakanlah
sholat untuk mengingat Allah.” (HR. Bukhari)
Dua hadis di atas sama-sama diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam
kitab shahîh-nya. Hadis pertama menegaskan larangan menunaikan shalat di waktu setelah subuh hingga
terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari.
Sementara hadis kedua tidak dibatasi oleh
waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa
menunaikan kewajibannya, baik waktu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu
setelah ashar hingga terbenam matahari.
Dua hadis di atas dipandang
bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat
riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan
antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh hadis pertama adalah shalat sunnah, sementara hadis kedua merupakan shalat wajib
yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu
ingat.
d) Menggunakan
Cara Ta’wîl
Ta`wil berarti
memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung
oleh lafadz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dilakukan
makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafadz hadis dinilai
tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil
kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang
dikandung oleh lafadz. Pemalingan ini dilakukan karena adanya dalil yang
menghendakinya. Oleh al-Syafi’iy metode ta’wil dipandang dapat digunakan untuk menghilangkan pertentangan antara
satu hadis dengan hadis lainnya.Contoh:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ(
رواه مسلم)
Artinya:”Dari Rafi`
bin Khadiij dari Nabi Muhammad saw bersabda: “Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu
lebih memperbesar pahala” (HR.
Muslim)
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ ( رواه البخاري و مسلم)
Artinya:“Kami
wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh)
dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke
rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak
ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis pertama pada contoh di atas menggambarkan bahwa
waktu yang lebih afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh pada saat sudah mulai
terang. Sedangkan hadis kedua menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk
melaksanakan shalat subuh ia ghalas, yakni
susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua hadis di atas menampilkan pertentangan antara satu
dengan lainnya, di mana hadis pertama di akhir waktu dan hadis kedua di awal waktu.
Dalam masalah ini Imam al-Syafi’iy
justru tidak melihat pertentangan antara kedua hadis di atas. Imam Syafi’iy men-takwil-kan
kata isfâr pada hadis pertama. Di mana isfâr yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh
yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang
ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain,
makna isfâr pada hadis pertama di-takwil-kan dengan makna ghalas pada hadis kedua. Hal ini dilakukan
karena hadis kedua dipandang memiliki nilai lebih
dibanding hadis pertama untuk dijadikan sebagai hujjah.
2. Metode
Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya
kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan
mengunggulkan mana diantara hadis-hadis yang tampak bertentangan yang
kualitasnya lebih baik. Sehingga hadis yang lebih berkualitas itulah yang
dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan
hadis yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan
dengan Al-Quran. Antara lain adalah hadis tentang nasib bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadis berkut
ini:
الوائدة والموؤودة في النار
( رواه أبو داوود)
Artinya : “Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk
neraka. (HR Abu Dawud)
Hadis tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari
Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid
al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “
Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka
menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan
Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya?” Nabi menjawab:”
tidak”. Kami berkata: “dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku
hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat
baginya?” Nabi menjawab: “Orang yang mengubur anak perempuannya
hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan
yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya”. Demikian hadits
yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan
secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[15]
Hadis tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan Al Quran surat al Takwir :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8)
بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9)
Artinya: “Dan apabila bayi –
bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia
dibunuh”.(QS. At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang perempuan yang mengubur
bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang
tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang.
Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga
karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan
al-Sharimiyyah: “Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga?” Beliau menjawab: “Nabi Muhammad SAW akan
masuk Surga, orang yang mati syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan
masuk Surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga”. (HR. Ahmad.)
3.
Metode Nasikh
Mansukh
Jika ternyata hadis tersebut tidak
mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode naskh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna
hadits yang lebih datang dulu dan makna hadits yang datang belakangan. Otomatis
yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan
oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan
hukum syariat yang datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang
belakangan. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadis-hadis yang sifatnya
hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadis yang bersifat global atau
hadis-hadis yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari
hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadis hanya terjadi disaat
Nabi Muhammad saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’,
sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan
syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan
hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi).
Salah satu contoh dua hadis yang saling
bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadis tentang hukum makan
daging kuda:
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ (رواه أبو داوود, النسائ, و ابن ماجه
)
Artinya: Dari Khalid bin Walid, sesungguhnya dia berkata
: “Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging
kuda, bighal, keledai serta semua hewan yang memiliki taring dari binatang
buas.” (HR. Abu Dawud, An Nasaa-i dan Ibnu Majah)
عن جابر بن
عبد الله رضي الله عنهما قال : نهى رسول الله
صلى الله عليه وسلم يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية ورخص في الخيل )
رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata : “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Khaibar melarang makan daging keledai
piaraan dan beliau memberi keringanan untuk kuda.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua hadis di atas terlihat saling bertentangan, hadis pertama bersisi tentang
larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadis kedua menunjukkan
kebolahan memakan daging kuda. Pertentangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum
keharaman makan daging kuda pada hadis pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda
pada hadis Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.[16]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hadis
Mukhtalif adalah hadis-hadis yang menurut lahirnya saling
bertentangan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan
antara keduanya atau yang sulit dipahami kandungan maknanya , dengan
menjelaskan hakikatnya, baik dengan cara men-taqyid
kemutlakannya, atau men-takhsis
keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan
dengan hadis tersebut, dan lain-lain
2.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hadis mukhtalif , diantaranya: Faktor internal, eksternal, faktor metodologi, dan faktor ideologi.
3.
Beberapa metode untuk memahami hadis mukhtalif diantaranya :
pertama, Metode al-Jam’u (penggabungan
atau pengkompromian), yaitu dengan metode kompromi dalam menyelesaikan hadîs mukhtalif ialah
menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara
menelusuri titik temu kandungan makna sehingga maksud sebenarnya yang dituju
oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Ada beberapa langkah yang
dapat dilakukan untuk metode ini diantaranya: a) Menggunakan pendekatan kaidah ush
l, b) Pemahaman
kontekstual, c) Pemahaman korelatif, d) Menggunakan cara ta`wil. Kedua, Metode tarjih, metode ini
dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti
perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadis-hadis yang tampak
bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadis yang lebih berkualitas
itulah yang dijadikan dalil. Ketiga, metode nasikh mansukh, dengan dicari makna hadis yang
lebih datang dulu dan makna hadis yang datang belakangan.

DAFTAR PUSTAKA
Al Adhlabi, Shalahuddin Ibn Ahmad. 1983. Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al
Hadist al Nabaw.i.Beirut : Dar al fikr al jadidah
Al-Khathib,
Muhammad Ajjaj. 1998.Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis,
diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media
Pratama. Cet. ke-1
G.H.A
Juynboll.1969.The Authenticity of the Tradition Literature;discussion in
Modern Egypt Ladien E.J Brill.
‘Itr, Nuruddin. 1994. Ulum al-Hadits, diterjemahkan
oleh Mujiyo dari Manhaj
al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Cet. ke-1, Jilid 2
Mustaqim,Abdul. Ilmu
Ma’anil Hadist .2008. Yogyakarta : Idea Press
Ash
Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah
Hadits, Jilid II, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.
,Al-Qaththan.
2005. Pengantar Ilmu
Hadits. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual, Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1994.
___________,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis,
Jakarta: Bumi Aksara,1997
Zuhad, Fenomena
Kontradiksi Hadis dan Metode Penyelesaianya, Semarang: Rasail Media Group, 2010.
[4] Muhammad Ajjaj , Ushul al-Hadits: Pokok-pokok
Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik
dari Ushul al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), Cet. ke-1, hlm. 254
[5] Subhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits
wa Mushthalahuhu ( Beeirut: Dar
Al-‘Ilmu Al-Malayyin, 1994), hlm. 111
[6] Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok
Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik
dari Ushul al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), Cet. ke-1, hlm. 283
[10] Muhammad Ibn Idris
al-Syafi’iy, al-Umm, (Bairût : Dâr al-Fikr, 1983), Cet Ke-3,
Jilid VII, hlm. 196
[11] Edi
Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis
Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hlm.
97
[12] Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’
al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah:
Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), hlm. 169
[13] Muhammad Ibn Idris
al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts (Bairût: Mu’assasah al-Kutub
al-Tsaqâfiyah, 1985), hlm. 247-248
[14] Muhammad Ibn Idris
al-Syafi’iy, Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts (selanjutnya
disebut dengan al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts), (Bairût, Mu’assasah al-Kutub
al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 112-118
[15] Shalahuddin
Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadits al Nabawi (Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah, 1983), hlm.
115
[16] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/.
Diakses pada 10/12/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar