Desember 24, 2015

MONGOL DAN KEHANCURAN BAGHDAD: IBRAH BAGI GENERASI MASA DEPAN



Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan peradaban pada masa Bani Abbasiyah. Ibu kota Negara pada awalnya adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa khalifah al-Mansyur ibu kota Negara dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu kota Baghdad yang terletak di dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M.[1]
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu. Selain itu Baghdad juga sebagai pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa Arab.[2]

Semua kemegahan dan keindahan kota Baghdad sekarang hanya tinggal kenangan. Semuanya hancur dan hampir tak tersisa, setelah kota ini di serang dan dibumihanguskan oleh tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pasukan Mongol juga membakar buku-buku yang ada di perpustakaan yang merupakan gudang ilmu pengetahuan.[3]
Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, kehancuran Baghdad tentu memberikan dampak yang besar terhadap sejarah umat Islam. Jatuhnya kota Baghdad bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran umat Islam. Ketika Baghdad hancur berbagai khazanah ilmu pengetahuan yang ada di sana juga ikut lenyap. Dikisahkan bahwa buku-buku yang ada dalam baitul hikmah dibakar dan di buang ke sungai Tigris sehingga airnya berubah yang asal mulanya jernih menjadi hitam karena tinta dari buku-buku tersebut.
Fakta tersebut dalam perspektif sejarah kritis tentulah tidak bisa diterima apa adanya, karena sejarah harus mampu menjelaskan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi. Sehingga peristiwa masa lalu yang kita pelajari bisa bermakna untuk masa kini dan masa depan. Karena sebagaimana dikatakan ibn Khaldun bahwa  masa lalu dan masa depan mengandung hukum social yang sama dan dapat dipahami dari masa sekarang[4]. Selain itu, baik dalam perspektif sejarah ataupun agama selalu dikatakan bahwa  tidak ada sebuah peristiwa yang terjadi secara kebetulan. oleh karena itu, hancurnya Baghdad perlu diadakannya pengkajian tentang latar belakang penyerangan dan dampak dari penyerangan tersebut.

B.     Pokok Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kekhalifahan Bani Abbasiyah menjelang penyerangan Mongol?
2.      Bagaimanakah Sejarah Bangsa Mongol ?
3.      Apa penyebab Bangsa Mongol menyerang Baghdad?
4.      Apa dampak dari serangan Mongol tersebut terhadap Peradaban Islam?
 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bani Abbasiyah Menjelang Penyerangan Mongol
Kota Baghdad adalah ibu kota Negara pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Pada masa kejayaannya, kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun anaknya.[5]
Khalifah al-Makmun membangun perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan tersebut dinamakan dengan Bait al-Hikmah. Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah.[6]
Syamsul Bakri mengutip dari Syalabi, secara umum membagi perkembangan Bani Abbasiyah dalam tiga periode.[7] Periode pertama dari Abul Abbas sampai al-Watsiq, yaitu periode di mana kekuasaan berada di tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini adalah ulama yang berijtihad dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer yang perkasa serta memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua dimulai masa pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah al-Nashir. Pada masa ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mlai berpindah dari khalifah ke tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan golongan Buwaihi, dan kemudian berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan kecil sudah memiliki kedaulatan sosial-politik, sedangkan khalifah hanya sebagai jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga dimulai sejak pertengahan al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad Abdullah al-Mu’tashim.
Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.      Lemahnya khalifah
Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa kembali wilayah kekuasaan mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan kelemahan politiknya.
2.      Persaingan antar bangsa
Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Setelah berkuasa, persekutuan itu tetap dipertahankan. Orang-orang Persia masih belum puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Selain itu muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap kekhalifahan. Ketika pada masa al-Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti Saljuk.
3.      Penurunan ekonomi 
Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik, dinasti Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi. Penerimaan negara menurun disebabkan makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri. Sementara pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara tidak stabil.
4.      Konflik keagamaan
Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan orang-orang Persia, membuat khalifah merasa perlu mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan orang-orang tersebut dan memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka berlindung  di balik ajaran Syi’ah. Sehingga banyak aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang dikenal sebagai aliran politik yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa. Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik antara Mu’tazilah dengan gologan Salaf.[8]
Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus. Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan mudah menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.
B.     Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia, yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia utara, Tibet Selatan, dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Kedua putra itu melahirkan dua suku bangsa besar, Mongol dan Tartar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.[9]
Dalam rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kambing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan kulit binatang yang lain, baik diantara sesama mereka maupun dengan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka, Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya. [10] Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya. Mereka menganut agama Syamaniah (Syamanism), menyembah bintang-bintang, dan sujud kepada matahari yang sedang terbit.[11]
Pemimpin atau Khan bangsa Mongol yang pertama diketahui dalam sejarah adalah Yesugei (w. 1175) yang merupakan ayah Cenghis. nama asli Chengis bernama Temujin, seorang pandai besi yang mencuat namanya karena perselisihan yang dimenangkannya melawan Ong Khan atau Togril, seorang kepala suku Kereyt. Temujin mendapat  gelar Chengis saat berlangsungnya Qurultay, sidang para kepala suku bangsa Mongol yang berlangsung pada 1206 M, menghasilkan kesepakatan untuk mengangkat Temujin dengan gelar Cenghis Khan sebagai pemimpin tertinggi bangsa Mongol, ketika ia berumur 44 tahun. Ia adalah anak dari pemimpin atau Khan bangsa Mongol, yang dalam sejarah bernama Yesugey Ba’atur (W. 1175 M)[12]
Dalam bidang militer Chengis mulai menata pasukannya dengan baik. Ia membagi pasukannya dalam beberapa kelompok besar-kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan. Setelah pasukannya teroganisir dengan baik, Chengis Khan mulai memperluas daerah kekuasaanya dengan menaklukkan daerah-daerah lain. Pada tahun 1209 M ia membawa pasukannya dengan tujuan Turki, Farghana, dan kemudian Samarkand. Mereka mendapat perlawanan yang keras dari penguasa Khawarizm, Sultan Ala al-Din. Karena seimbang, akhirnya masing-masing kembali ke Negerinya. Sepuluh tahun kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkan, Khurasan, Hamadhan, sampai ke perbatasaan Irak. Di Bukhra, ibu kota Khawarizm, mereka kembali mendapatkan perlawanan dari Sultan Ala al-Din, namun mereka berhasil mengalahkannya. Di setiap daerah yang mereka lewati, terjadi pembunuhan besar-besaran. Bangunan-bangunan mereka hancurkan dan sekolah-sekolah dibakar.[13]
Setelah meninggal, Chengis Khan membagi wilayahnya kepada empat orang anaknya, yaitu Jochi, Chaghtai, Oghtai, dan Touly[14]. Changtai berusaha menguasai kembali daerah-daerah Islam yang pernah ditaklukkan dan berhasil menguasai Khawarizm setelah mengalahkan Sultan Jalal al-Din. Saudara Chagtai, Touly menguasai Khurasan. Karena kerajaan Islam sudah terpecah belah, maka dapat dengan mudah ia mengusai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan digantikan putranya Hulagu Khan. Hulagu Khan inilah yang nantinya akan menghancurkan Baghdad.
C.    Penyerangan Mongol ke Baghdad
Pada tahun 1253, Hulagu Khan  bergerak dari Mongol memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi  dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Inilah gelombang kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Mereka menyapu bersih semua yang mereka lewati dan yang menghadang perjalanan mereka menyerbu semua kerajaan kecil yang berusaha tumbuh di atas puing-puing imperium Syah Khawarizm. Hulagu mengundang Khalifah al-Mu`tasim (1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu mendapat jawaban yang membuat Hulagu Khan marah, karena surat itu berisi penghinaan dan penolakkan. Pada 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah direbut tanpa sedikit pun kesulitan, dan kekuatan kelompok yang ketakutan itu hancur lebur. Pada peristiwa penyerbuan ini bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan di Kota Baghdad, selain motivasi invasi dan penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa yang telah dimulai sejak tahun  1212 M. Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan yang termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.[15]
Khalifah al-Mu`tasim benar-benar tidak dapat membendung “topan” tentara Hulagu Khan. Pada saat yang kritis itu, wazir khalifah Abbasiyah, Ibn al-‘Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah, “Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja (Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk”.
Khalifah menerima usul itu. Ia keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikir dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya ternyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran. Dengan pembunuhan kejam ini, berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Pebruari 1258.[16]
Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria dan Mesir. Dari Baghdad pasukan Mongol menyeberangi sungai Eufhrat menuju Syiria, kemudian melintasi Sinai, Mesir. Pada tahun 1260 mereka berhasil menduduki Nablus dan Gaza. Panglima tentara Mongol, Kitbugha, mengirim utusan ke Mesir meminta supaya Sultan Qutuz yang menjadi raja kerajaan Mamalik di sana menyerah. Permintaan itu ditolak oleh Qutuz, bahkan utusan Kitbugha dibunuhnya. Tindakan Qutuz ini menimbulkan kemarahan di kalangan tentara Mongol. Kitbugha kemudian melintasi Yordania menuju Galilie. Pasukan ini bertemu dengan pasukan Mamalik yang dipimpin langsung oleh Qutuz dan Baybars di ‘Ain Jalut. Pertempuran dahsyat terjadi, pasukan Mamalik berhasil menghancurkan tentara Mongol, 3 September 1260[17]

D.    Dampak  Penyerangan Mongol Terhadap Peradaban Islam
Bangsa mongol meninggalkan catatan hitam dalam sejarah peradaban islam. Bangsa mongol memang dikenal sebagai bangsa yang pemberani, keberadaannya, kekejamanya dan kebengisannya mencapai puncak pada masa kepemimpinan Jhengis khan dan beberapa garis keturunan kebawah. Meskipun kesalahan – kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus oleh beberapa keturunannya sebagai pembelah islam dan memberikan energi baru untuk membangkitkan kembali kebudayaan islam. Namun, hancurnya peninggalan – peninggalan sejarah tidak bisa terlupakan.
Serangan mongol di negeri islam khususnya di baghdad selain berdampak berakhirnya masa khalifah Abbasiyah, tetapi menjadi awal kemunduran umat islam terlebih khazana ke-ilmuannya. Secara khusus dampak serangan mongol terhadap peradaban islam diantaranya :
1.         Politik
Kehancuran ibukota baghdad sebagai pusat pemerintahan khalifah Abbasiyah berpengaruh besar terhadap mundurnya peradaban islam. Kekosongan ke-khalifahan melemahkan kekuatan umat islam, bahkan peradaban islam banyak dipandang tenggelam setelah diapit diantara dua kekuatan musuh islam, tentara salib di barat dan pasukan mongol di timur.[18] Pada rezim Ilkhan atau Hulagu, Baghdad di turunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq al- Arabi.
2.          Sosial
Dampak sosial akibat serangan mongol di ibukota khalifah abbasiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi politiknya. Pembunuhan massal, pembantaian bayi, anak, wanita, pemerkosaan, penjarahan. Menjadi catatan hitam umat islam dalam perjalanan sejarah peradaban islam. Kemakmuran yang pernah dicapai pada masa khalifah Harun Al-Rasyd dan anaknya tinggal cerita.
3.         Pendidikan dan keilmuan
Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap ilmu terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap perkembangan keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh buku, sekolah-sekolah, pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum intelektualnya. Pada masa kehancuran kota baghdad sejarah mencatat kisah pemusnahan buku-buku di Baitul Hikmah yang sebagiannya di buang di sungai Tigris . Hanya beberapa karya yang sempat diselamatkan. Ibnu Jubayr menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu terdapat sekitar tiga puluh sekolah, salah satu sekolah yang selamat dari malapetaka pemusnahan oleh bangsa Mongol adalah Madrasah Nizhamiyah dan Muntashiriyah dari sanalah sejarah dan karya-karya para ilmuan kembali di hidupkan.
4.         Agama
Kehancuran Khalifah Abbasiyah menandai hancurnya pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam percaturan Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh kristen, dengan ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada kepala keluarga Nestor dan keberpihakan Hulagu terhadap pasukan perang salib dan Hulagu sendiri lebih menyukai warga Kristen dibanding warga Islam. Meskipun Pada masa kekuasaan Ghazan Mahmud(1295 – 1304) penerus ketujuh Ilkhan Islam menjadi Agama Negara meskipun kecenderungan kepada mahzab atau sekte Syiah[19].
Gambaran singkat dampak serangan pasukan mongol di Kota Baghdad terhadap perjalanan sejarah peradaban Islam. Dimana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya. Bahkan sejarah ini juga menjadi catatan penting dalam pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya.  Lemahnya solidaritas dan perpecahan adalah sumber kehancuran.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas tentang penyerangan Bangsa Mongol ke Baghdad dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya :
1.      Bani Abbasiyah menjelang penyerangan Mongol sudah mengalami kekacuan dan kemunduran dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya: a. Lemahnya khalifah karena wilayah kekuasaannya menjadi sempit, b. Persaingan antar Bani Abbasiyah dan Persia yang ingin mendirikan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari orang – orang Persia, c. Penurunan ekonomi disebabkan penerimaan kas negara menurun karena terjadi penyempempitan wilayah dan membengkak  pengeluaran karena khalifah hidup bermegah – megahan dan banyak mengeluarkan uang untuk pegawai, d. Terjadinya konflik agama yang ada di Abbasiyah. Dengan kemunduran Bani Abbasiyah ini merupakan faktor internal Dinasti tersebut dapat dikuasi oleh Mongol.
2.      Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia, yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia utara, Tibet Selatan, dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Pemimpin yang terkenal adalah Chengis, dia melakukan penaklukan negara lain hingga memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan setelah meninggal, Chengis Khan membagi wilayahnya kepada empat orang anaknya, yaitu Jochi, Chaghtai, Oghtai, dan Touly. Dan dari keturunannya lahir  Hulagu Khan yang memimpin Mongol menghancurkan Baghdad
3.      Faktor penyerangan Hulagu Khan ke Baghdad adalah karena al Mu`tasim menolak Hulagu Khan untuk  menyerang Hasyasyin Ismailiyah, dan Hulagu Khan ingin melakukan penaklukan wilayah, serta ingin memperbaiki kehidupan Bangsa Mongol. Khalifah al-Mu`tasim benar-benar tidak dapat membendung serangan tentara Hulagu Khan. Dan adanya penghiantan Ibn al-‘Alqami seluruh wazir dan khalifah dibunuh Hulagu Khan. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syiria dan Mesir. Dan pada akhirnya Panglima tentara Mongol, Kitbugha, ketika ingin menguasi Mesir dia tidak berhasil dan kalah  dari pasukan Mamalik yang dipimpin langsung oleh Qutuz dan Baybars di ‘Ain Jalut.
4.      Serangan mongol di negeri islam khususnya di baghdad memiliki dampak buruk  terhadap peradaban islam diantaranya: a. Peradaban islam tenggelam karena telah diserang oleh tentara salib dan mongol dan pemerintah islam lemah karena tidak adanya khalifah, b. Dampak sosialnya adalah banyaknya pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan menyebabkan kehidupan tidak tentram, c. Banyak karya intelektual  islam yang dihancurkan menyebabkan kemunduran dalam pendidikan dan keilmuan, d. Pengaruh kristen lebih besar dari pada Islam 




[1] Yatim, Badri. Sejarah Perdaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. h.281
[2] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010. h.147.
[3] Ibid, h.129
[4] Hakimul Ikhwam Affandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman : Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun. Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2004.h.74.

[5] Philip. K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamat Riyadi. Jakarta: Serambi, 2005.h. 369.
[6] Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. h.  277-278.
[7] Syamsul Bakri, Peta Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011. h. 54.
[8] Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. h. 79-85
[9] Ahmad Syalabi,Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al Hadharah al-Islamiyah, Juz VII. Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1979. h. 745.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008. h. 111-112
[11] Ibid,. h. 145-147
[12] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007. h.286
[13] Amin, Syamsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.h.89
[14] Ibid, h.287
[15] Philip K. Hitti, History of The Arabs (terj.).Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.h. 619
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008. h. 114-115     
[17] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004.h. 
     174.
[18] Muhammad Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004.h. 
     176.
[19] Ibid, h. 177-178

Tidak ada komentar: