Februari 20, 2019

ULAMA`: PELITA UMAT : MEMPERBAIKI MASYARAKAT MENUJU GENERASI BERMARTABAT


Problematika yang dihadapi umat Islam di zaman sekarang semakin kompleks. Dari berbagai sudut kehidupan kaum muslimin dihadapkan dengan berbagai masalah. Kondisi sosial yang begitu majemuk, konflik antar sesama, agama, ras dan budaya. Jika tiap pribadi muslim tidak jeli dan tepat mencari solusi maka akan salah melangkah dan berakibat pada kerugian pada dirinya.
Salah satu langkah yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah berusaha mendudukkan kembali para ulama`. Masyarakat dewasa ini banyak yang abai terhadap para ulama`, mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dan pemimpin jahat mereka untuk menjalankan segalanya. Bahkan ada kabar di negeri ini akan ada upaya untuk menghilangkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan pastinya ada misi buruk yang ada padanya. Oleh karena itu sebagai muslim sejati kita berusaha semaksimal mungkin untuk menyadarkan masyarakat akan pentingya ulama` di tengah masyarakat.

Ulama` berasal dari bahasa Arab dan merupakan kata jama` dari `aalim artinya orang yang mengetahui. Adapun secara terminolog ada beberapa pendapat di antaranya
Menurut Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang jelas terhadap agama, Al-Qur’an, ilmu fenomena alam. Pengetahuan tersebut mengantarkan seseorang memiliki rasa khasyyah (takut) kepada Allah. Ulama juga mempunyai kedudukan sebagai pewaris Nabi yang mampu mengemban tugas-tugasnya serta memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah. 
Namun, relevansi dalam kehidupan sekarang terutama di Indonesia yang lebih sering mengaitkan atau membatasi pengertian ulama hanya kepada para kiai, ustadz dan pendakwah adalah berbeda dengan pemahaman Quraish Shihab, karena pembatasan itu terkadang mengantarkan pada kekeliruan dan kesalahan dalam menilai seseorang. Kecuali gelar tersebut memang disematkan kepada seseorang yang memang secara ilmu agama mumpuni dan mempunyai akhlak yang baik terhadap kehidupan bersama.
Oleh karena itu, konsep ulama menurut Quraish Shihab adalah mengacu pada sifat-sifat, bukan hanya sekadar pada gelar atau atribut lahiriah. Cara pandang tersebut akan lebih sesuai dalam semangat agama, bahwa kemuliaan bukan dikarenakan gelar atau jabatan tertentu, melainkan dengan ketakwaan dan kecintaan manusia kepada Allah dilengkapi dengan ilmu agama yang mumpuni yang dengan ilmu itu mempunyai dampak positif terhadap kehidupan manusia secara umum. Ini menunjukkan bahwa ulama juga termasuk kaum intelektual yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya.
Badaruddin Hsukby dalam bukunya Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman (1995) mengungkapkan definisi ulama menurut para Mufassir Salaf, di antarannya, pertama, menurut Imam Mujahid berpendapat bahwa ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah SWT. Malik bin Anas pun menegaskan bahwa orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah ulama.
Kedua, pendapat Hasan Basri bahwa ulama ialah orang yang takut kepada Allah dikarenakan perkara ghaib, suka terhadap sesuatu yang disukai Allah, dan menolak segala sesuatu yang dimurkai Allah. Ketiga,pendapat Ali Ash-Shabuni bahwa ulama adalah orang yang rasa takutnya kepada sangat mendalam dikarenakan ma’rifatnya. Keempat, menurut Ibnu Katsir yang menyebutkan ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepadanya. Jika ma’rifatnya sudah mendalam, maka sempurnalah takut kepada Allah.
Kelima, Syekh Nawawi Al-Bantani yang berpendapat bahwa ulama adalah orang-orang yang menguasai hukum syara’ untuk menetapkan sah itikad maupun amal syari’at lainnya. Dalam hal ini, Wahbah Zuhaili berkata bahwa secara naluri ulama ialah orang-orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk mengubah hidup dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus ke dalam kenistaan. Orang-orang maksiat hakikatnya bukan ulama.
Kelima definisi dari para Mufasir Salaf tersebut, bisa ditarik benang merah yakni ulama ialah orang yang takut kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam QS Al-Fathir ayat 28: innama yakhsyallaha min ibadihil ulama (sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama).
Imam Al Ghazali mengelompokkan ulama ada 2 macam. Ulama` Akherat atau ulama`ul khair dan ulama` dunya atau ulama`us suu`. Ulama`ul khair artinya ulama yang baik, mereka selalu menyeru manusia untuk berbuat kebaikan berdasarkan Al Qur`an dan Al Hadis. Sedangkan ulama`us suu` artinya ulama yang buruk, mereka mengarahkan manusia untuk mengikuti hawa nafsu. Imam Syafi`I menjelaskan merupakan ciri ulama baik adalah yang banyak diserang, dihujat, dizalimi oleh musuh-musuh Islam.
Ulama memiliki kedudukan yang tinggi dihadapan Allah SWT. Mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapnya dan memiliki hak untuk mengeluarkan fatwa. Nabi Muhammad telah berpesan kepada kita agar selalu metaati ulama`ul khair. Ulama` memiliki peran penting di tengah masyarakat, 1) sebagai pewaris para nabi(waratsatul ambiya’). “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)”. Seorang ulama menjalankan peran sebagaimana para nabi, yakni memberikan petunjuk kepada umat dengan aturan Islam, seperti mengeluarkan fatwa, laksana bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk dalam kegelapan bumu dan laut (HR. Ahmad). 2) terdepan dalam dakwah Islam, menegakkan amar makruf nahi mungkar, menunjukkan kebenaran dan menjauhkan manusia dari kebatilan sesuai Syari`at Allah dan meluruskan penguasa yang zalim sebagaimana Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin mengatakan, “Tradisi ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah… kerusakan masyarakat adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu akibat kerusakan ulama`.
Oleh karena itu kita sebagai orang awam harus taati para ulama yang baik agar selamat dari keburukan dan kejahatan. Semoga Allah menjaga ulama` kita. Aamiin




Tidak ada komentar: