Problematika yang dihadapi umat
Islam di zaman sekarang semakin kompleks. Dari berbagai sudut kehidupan kaum
muslimin dihadapkan dengan berbagai masalah. Kondisi sosial yang begitu
majemuk, konflik antar sesama, agama, ras dan budaya. Jika tiap pribadi muslim
tidak jeli dan tepat mencari solusi maka akan salah melangkah dan berakibat
pada kerugian pada dirinya.
Salah satu langkah yang perlu
diperhatikan bagi umat Islam adalah berusaha mendudukkan kembali para ulama`.
Masyarakat dewasa ini banyak yang abai terhadap para ulama`, mereka lebih
mendahulukan hawa nafsu dan pemimpin jahat mereka untuk menjalankan segalanya.
Bahkan ada kabar di negeri ini akan ada upaya untuk menghilangkan MUI (Majelis
Ulama Indonesia) dan pastinya ada misi buruk yang ada padanya. Oleh karena itu
sebagai muslim sejati kita berusaha semaksimal mungkin untuk menyadarkan
masyarakat akan pentingya ulama` di tengah masyarakat.
Ulama` berasal dari bahasa Arab dan
merupakan kata jama` dari `aalim artinya orang yang mengetahui. Adapun secara
terminolog ada beberapa pendapat di antaranya
Menurut Muhammad Quraish Shihab
dalam karyanya Tafsir Al-Misbah adalah seorang yang memiliki
pengetahuan yang jelas terhadap agama, Al-Qur’an, ilmu fenomena alam.
Pengetahuan tersebut mengantarkan seseorang memiliki rasa khasyyah (takut)
kepada Allah. Ulama juga mempunyai kedudukan sebagai pewaris Nabi yang mampu
mengemban tugas-tugasnya serta memiliki derajat yang tinggi di sisi
Allah.
Namun, relevansi dalam kehidupan
sekarang terutama di Indonesia yang lebih sering mengaitkan atau membatasi pengertian
ulama hanya kepada para kiai, ustadz dan pendakwah adalah berbeda dengan
pemahaman Quraish Shihab, karena pembatasan itu terkadang mengantarkan pada
kekeliruan dan kesalahan dalam menilai seseorang. Kecuali gelar tersebut memang
disematkan kepada seseorang yang memang secara ilmu agama mumpuni dan mempunyai
akhlak yang baik terhadap kehidupan bersama.
Oleh karena itu, konsep ulama
menurut Quraish Shihab adalah mengacu pada sifat-sifat, bukan hanya sekadar
pada gelar atau atribut lahiriah. Cara pandang tersebut akan lebih sesuai dalam
semangat agama, bahwa kemuliaan bukan dikarenakan gelar atau jabatan tertentu,
melainkan dengan ketakwaan dan kecintaan manusia kepada Allah dilengkapi dengan
ilmu agama yang mumpuni yang dengan ilmu itu mempunyai dampak positif terhadap
kehidupan manusia secara umum. Ini menunjukkan bahwa ulama juga termasuk kaum
intelektual yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya.
Badaruddin Hsukby dalam
bukunya Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman (1995)
mengungkapkan definisi ulama menurut para Mufassir Salaf, di antarannya, pertama,
menurut Imam Mujahid berpendapat bahwa ulama adalah orang yang hanya takut
kepada Allah SWT. Malik bin Anas pun menegaskan bahwa orang yang tidak takut
kepada Allah bukanlah ulama.
Kedua, pendapat
Hasan Basri bahwa ulama ialah orang yang takut kepada Allah dikarenakan perkara
ghaib, suka terhadap sesuatu yang disukai Allah, dan menolak segala sesuatu
yang dimurkai Allah. Ketiga,pendapat Ali Ash-Shabuni bahwa ulama
adalah orang yang rasa takutnya kepada sangat mendalam dikarenakan
ma’rifatnya. Keempat, menurut Ibnu Katsir yang menyebutkan
ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah sehingga mereka takut
kepadanya. Jika ma’rifatnya sudah mendalam, maka sempurnalah takut kepada
Allah.
Kelima, Syekh
Nawawi Al-Bantani yang berpendapat bahwa ulama adalah orang-orang yang
menguasai hukum syara’ untuk menetapkan sah itikad maupun amal syari’at
lainnya. Dalam hal ini, Wahbah Zuhaili berkata bahwa secara naluri ulama ialah
orang-orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk mengubah hidup dunia dan
akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus ke dalam kenistaan.
Orang-orang maksiat hakikatnya bukan ulama.
Kelima definisi dari para Mufasir
Salaf tersebut, bisa ditarik benang merah yakni ulama ialah orang yang takut
kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam QS Al-Fathir ayat
28: innama yakhsyallaha min ibadihil ulama (sesungguhnya di
antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama).
Imam Al Ghazali mengelompokkan
ulama ada 2 macam. Ulama` Akherat atau ulama`ul khair dan ulama`
dunya atau ulama`us suu`. Ulama`ul khair artinya
ulama yang baik, mereka selalu menyeru manusia untuk berbuat kebaikan
berdasarkan Al Qur`an dan Al Hadis. Sedangkan ulama`us suu` artinya
ulama yang buruk, mereka mengarahkan manusia untuk mengikuti hawa nafsu. Imam
Syafi`I menjelaskan merupakan ciri ulama baik adalah yang banyak diserang,
dihujat, dizalimi oleh musuh-musuh Islam.
Ulama memiliki kedudukan yang
tinggi dihadapan Allah SWT. Mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapnya
dan memiliki hak untuk mengeluarkan fatwa. Nabi Muhammad telah berpesan kepada
kita agar selalu metaati ulama`ul khair. Ulama` memiliki peran penting di
tengah masyarakat, 1) sebagai pewaris para nabi(waratsatul
ambiya’). “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi” (HR.
Abu Daud dan At-Tirmidzi)”. Seorang ulama menjalankan peran sebagaimana para
nabi, yakni memberikan petunjuk kepada umat dengan aturan Islam, seperti
mengeluarkan fatwa, laksana bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk
dalam kegelapan bumu dan laut (HR. Ahmad). 2) terdepan dalam dakwah Islam,
menegakkan amar makruf nahi mungkar, menunjukkan kebenaran dan menjauhkan
manusia dari kebatilan sesuai Syari`at Allah dan meluruskan penguasa yang zalim sebagaimana Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin mengatakan, “Tradisi
ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah… kerusakan
masyarakat adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu akibat
kerusakan ulama`.
Oleh karena itu kita sebagai
orang awam harus taati para ulama yang baik agar selamat dari keburukan dan
kejahatan. Semoga Allah menjaga ulama` kita. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar