Januari 08, 2016

Problem Pendidikan: Tantangan Pendidikan Di Masa Depan

Pendidikan merupakan sarana utama bagi setiap insan untuk mengembangkan potensi dan kecerdasan yang dimilikinya. Salah satu lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan adalah sekolah, di mana seorang peserta didik menimba ilmu dalam rangka menjadi manusia yang berkualitas berguna bagi bangsa dan negara.
Sebuah negara yang ingin berkembang harus memperhatikan kualitas pendidikan yang ada di negara tersebut, karena dengan pendidikan dapat mencetak SDM yang unggul dan dapat memberikan kontribusi dalam memajukan negaranya.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan. Konservasi berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari segala aspek dalam pendidikan.[1][1]

Tujuan dari pendidikan yang diharapkan adalah menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan dari berbagai pihak. Dalam hal ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Manajemen yang bagus (good management) dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh warga Indonesia.
Saat ini dunia pendidikan Nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetensi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain.[2][2] Selain itu pendidikan dihadapkan berbagai perubahan – perubahan yang ada dalam masyarakat, perubahan itu dijadikan sebuah tantangan bagi lembaga pendidikan. Tantangan yang sedang atau akan dihadapi lembaga pendidikan dapat dibagi menjadi dua yaitu eksternal dan internal. Tantangan eksternal yang dihadapi lembaga pendidikan diantaranya:
1.    Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan dekadensi moral
2.   Kompleksitas

Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang sama. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin, berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus. [3][3]
Hal yang amat penting dalam memberikan respon terhadap kejadian yang amat kompleks dalam tata kehidupan modern ialah jangan sampai seseorang itu kehilangan visi, misi, dan orientasi yang dituju. Perlu menentukan sistem pendidikan yang mampu membawa peserta didik dengan jeli memahami visi dan mampu memilih prioritas.
3.   Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
Perlu adanya sistem pendidikan yang mampu mengantar anak didik untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri.
4.   Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi unsur-unsur dari sistem yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).
Kiat baru dari manajemen modern adalah kegagalan suatu sistem justru ditentukan oleh mata rantai yang paling rendah dinamikanya. Faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya dinamika adalah sumber daya manusia, ilmu, teknologi, dan telekomunikasi. Dari segi pendidikan perlu mengembangkan sistem pendidikan yang dapat membawa anak didik mampu mengembangkan model dinamika dalam kesatuannya dengan stabilitas agar tujuan pembangunan dapat tercapai.
5.   Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi. Dari sudut pandang ini harus diupayakan sistem pendidikan  yang membawa anak didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya.
6  Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa.
7.   Konsolidasi
Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.
8.  Rasionalisasi
Semua sistem dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan mensetting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya demi tercapainya cita-cita yang dituju.
9. Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terheran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Dalam pendidikan maka perlu disusun sistem pendidikan yang yang mampu menghasilkan alumni yang ilmuwan, cendekiawan, dan produktif dalam penemuan baru.
Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965). Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya. Melalui UU No. 12 Tahun 1952 tersebut di atas dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran Republik Indonesia bersifat nasional dan demokratis
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan peraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
a.    Setralisasi. Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
b.    Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.
c.    Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan terbongkarnya kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami keguncangan politik yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi” yang dibuka terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama belajar berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya profesionalitas. Sistem Pendidikan Nasional masih diatur berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah harus diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Setiap unit atau organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dalam menjabarkan  kegiatannya mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat atau para pakar yang berkompeten dan kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan anggota DPR.
Disinilah fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga dihormati bangsa-bangsa lain di dunia. Selain itu Indonesia sangat membutuhkan sosok teknolog kelas dunia yang mampu berkreasi dan berjuang keras untuk kemajuan bangsa.
Potret pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal, adalah tantangan serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan seyogianya memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting point melakukan langkah-langkah dinamis dan progresif dalam mengembangkan diri seoptimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan kemunduran.





[1][1] Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen pengelola Kepemimpinan Pendidikan Profesional, (2009)
[2][2] Ibid, 29
[3][3] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003

Tidak ada komentar: