Pendidikan merupakan
sarana utama bagi setiap insan untuk mengembangkan potensi dan kecerdasan yang
dimilikinya. Salah satu lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan adalah
sekolah, di mana seorang peserta didik menimba ilmu dalam rangka menjadi
manusia yang berkualitas berguna bagi bangsa dan negara.
Sebuah negara yang
ingin berkembang harus memperhatikan kualitas pendidikan yang ada di negara
tersebut, karena dengan pendidikan dapat mencetak SDM yang unggul dan dapat
memberikan kontribusi dalam memajukan negaranya.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi,
antara lain: inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi
pendidikan untuk memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan wahana untuk
mencapai perubahan. Konservasi berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh
sebab itu, untuk memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari
segala aspek dalam pendidikan.[1][1]
Tujuan dari pendidikan yang diharapkan adalah
menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan
dari berbagai pihak. Dalam hal ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat
penting. Manajemen yang bagus (good management) dalam dunia pendidikan
di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh warga Indonesia.
Saat ini dunia pendidikan Nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat dari sudut
internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan
dengan kompetensi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih
rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain.[2][2] Selain itu pendidikan dihadapkan berbagai perubahan – perubahan yang ada
dalam masyarakat, perubahan itu dijadikan sebuah tantangan bagi lembaga
pendidikan. Tantangan yang sedang atau akan dihadapi lembaga pendidikan dapat
dibagi menjadi dua yaitu eksternal dan internal. Tantangan eksternal yang dihadapi
lembaga pendidikan diantaranya:
1. Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas,
betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun,
akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan
peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan dekadensi moral
2. Kompleksitas
Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus,
dalam waktu yang sama. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing,
pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin,
berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus. [3][3]
Hal yang amat penting
dalam memberikan respon terhadap kejadian yang amat kompleks dalam tata
kehidupan modern ialah jangan sampai seseorang itu kehilangan visi, misi, dan
orientasi yang dituju. Perlu menentukan sistem pendidikan yang mampu membawa
peserta didik dengan jeli memahami visi dan mampu memilih prioritas.
3. Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan
harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin, normal dan
damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan
kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan
menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah
daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang
emas bagi para pelaku system.
Perlu adanya sistem
pendidikan yang mampu mengantar anak didik untuk tidak mudah “terkejut”,
“terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi
mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri.
4. Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus
menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah makin
dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh akan semakin
menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin
cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat
perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi
masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang
benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi
unsur-unsur dari sistem yang bersangkutan, dan terbuka
peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).
Kiat baru dari manajemen modern adalah kegagalan suatu sistem justru ditentukan oleh mata rantai yang paling rendah dinamikanya. Faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya dinamika adalah sumber daya
manusia, ilmu, teknologi, dan telekomunikasi. Dari segi pendidikan perlu mengembangkan sistem pendidikan yang dapat membawa anak didik mampu
mengembangkan model dinamika dalam kesatuannya dengan stabilitas agar tujuan
pembangunan dapat tercapai.
5. Akselerasi
Akselerasi adalah gerak
naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu adalah perubahan, dengan
kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor
kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi. Dari sudut pandang ini harus diupayakan sistem pendidikan yang membawa anak didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya.
6.
Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri.
Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja.
Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global,
melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi
dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit
mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh
kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa.
7. Konsolidasi
Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya
independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang
lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis
saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.
8. Rasionalisasi
Semua sistem dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi
kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif
dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan mensetting ulang
atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi,
misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya demi
tercapainya cita-cita yang dituju.
9. Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang
lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan
penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu
masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu dan
kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat dan
lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali manusia
yang menciptakannya terkejut dan terheran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan
temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa
pengetahuan adalah kekuasaan.
Dalam pendidikan maka perlu disusun sistem pendidikan yang yang mampu
menghasilkan alumni yang ilmuwan, cendekiawan, dan produktif dalam penemuan
baru.
Selain tantangan eksternal, tantangan internal
pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif,
baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965). Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan
berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya
dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya
untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional.
Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU
No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38
Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya. Melalui UU No. 12 Tahun 1952 tersebut di atas dengan tegas menyatakan bahwa
pendidikan dan pengajaran Republik Indonesia bersifat nasional dan demokratis
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989,
dan diikuti dengan peraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No.
27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun
1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan
Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989
yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan
tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
a. Setralisasi. Kerja
pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah
yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan,
penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
b. Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri
dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas,
dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan
ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan
sebagainya.
c. Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan
dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap dengan otoritas administrasi
berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan adalah kerja akademik dan bukan
kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor
camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini
berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan
perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang.
Bersamaan dengan terbongkarnya kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi
mengalami keguncangan politik yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran
demokrasi” yang dibuka terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih
sama-sama belajar berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa
demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi
tidak akan bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya
profesionalitas. Sistem Pendidikan Nasional masih diatur
berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah
harus diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Setiap unit atau organisasi yang bergerak dalam
bidang pendidikan dalam menjabarkan kegiatannya mengacu pada tujuan
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ditentukan oleh pemerintah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat
atau para pakar yang berkompeten dan kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan
anggota DPR.
Disinilah fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi
fungsinya dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader
masa depan andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi
segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga
dihormati bangsa-bangsa lain di dunia. Selain itu Indonesia sangat membutuhkan
sosok teknolog kelas dunia yang mampu berkreasi dan berjuang keras untuk
kemajuan bangsa.
Potret pendidikan di atas, baik internal maupun
eksternal, adalah tantangan serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya
menjadi peluang berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah
tantangan menjadi peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan
pendidikan seyogianya memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting
point melakukan langkah-langkah dinamis dan progresif dalam
mengembangkan diri seoptimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan
kemunduran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar